makalah tafsir takwil dan hermeneutika



Makalah
TAFSIR TAKWIL DAN HERMENEUTIKA
Ditulis untuk memenuhi tugas mata kuliah Ulumul Qur’an
Dosen pengampu: Abdul Wahab, S.SOS.I, MSI


logo UNISNU.jpg

Disusun oleh:
Ana Fuadah (213016)
Kelas : A1





 
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH SEMESTER 1
UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA (UNISNU)
JEPARA
2014




KATA PENGANTAR


Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta hidayahNya sehingga makalah dengan judul  Tafsir, Takwil dan Hermeneutika” dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah ulum al-qur’an semester1 UNISNU Jepara 2013.
Dalam kesempatan ini saya ingin menyampaikan rasa terima kasih sedalam-dalamnya atas bantuan, dukungan, saran, kritik serta bimbingan, kepada bapak dosen selaku pembimbing dan teman-teman yang telah memberikan masukan pada makalah ini, dan tidak lupa pada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan tugas ini yang tidak dapat disebut namanya satu persatu.
Dalam penyusunan makalah ini saya menyadari bahwa masih banyak kekurangan-kekurangan, hal ini disebabkan karena keterbatasan pengetahuan, literature dan lain sebagainya, oleh karena itu saya mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk penyempurnaan makalah ini.
Akhir kata, semoga apa yang telah kita pelajari dari makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin...

Jepara, 9 Januari 2014
Penyusun

Ana Fuadah


DAFTAR ISI

  
KATA PENGANTAR................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................ iii       
A.    Latar Belakang.................................................................................... iii
B.     Rumusan Masalah............................................................................... iii
C.     Tujuan penulisan................................................................................. iv

BAB II PEMBAHASAN.............................................................................. 1
A.    Tafsir.................................................................................................... 1       
B.     Takwil.................................................................................................. 9
C.     Hermeneutika..................................................................................... 10

BAB III PENUTUP...................................................................................... v
A.    Kesimpulan.......................................................................................... v
B.     Saran ................................................................................................... v

DAFTAR PUSTAKA................................................................................... vi






BAB I
PENDAHULUAN
  A.     Latar Belakang
Al-Qur’an menurut Ibnu Khaldun, turun dengan menggunakan bahasa Arab. Oleh karena itu, kemampuan berbahasa Arab menjadi salah satu syarat dalam memahami Al-quran. Selain itu Al-quran yang kini berbentuk mushaf tertulis merupakan fenomena linguistic.
Al-quran sebagai fenomena linguistic menimbulkan pemahaman yang berbeda di kalangan umat islam, utamanya dalam bidang strategi penafsiran, yang menimbulkan keragaman penafsiran Al-quran dan dilahirkannya berbagai karya dan produk dari Al-quran. Pada dasarnya keragaman penafsiran dapat di petakan dalam 2 kategori:
Pertama, penafsiran yang mengandalkan pemahaman yang bersifat harfiah. Tekstual terhadap Al-quran.
Kedua, penafsiran yang memanfaatkan strategi-strategi heurmatika, yakni penafsiran yang di ucapkan tidak hanya melihat sisi tekstual, tetapi juga memahami teks Al-quran sebagai bingkai realitas, bersifat historis dan menggunakan medium bahasa cultural dimana teks tersebut di turunkan.
Tafsir, Takwil dan Hermeneutika dalam memahami fenomena Al-quran, merupakan sesuatu yang di maklumi bahwa Al-quran telah membuktikan sebagai kitab pedoman yang mampu menciptakan pperadaban dengan tradisi menulis sangat tinggi. Dari Al-quran telah dilahirkan berbagai karya dan prosuck. Semua ini muncul karena adanya kebenaran dan keyakinan bahwa Al-quran adalah firman Allah, mukjizat dan kitab indah.
  B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud tafsir, takwil dan hermeneutika?
2.      Apa macam-macam tafsir, takwil dan hermeneutika?
3.      Bagaimana implikasi tafsir, takwil dan hemeneutika dalam studi
 Al-quran?

  C.     Tujuan Penulisan
1.      Agar pembaca tahu apa itu tafsir, takwil dan hermeneutika.
2.      Agar pembaca mengetahui macam-macam tafsir, takwil dan hermeneutika.
3.      Agar pembaca dapat memahami Bagaimana implikasi tafsir, takwil dan hemeneutika dalam studi Al-quran.



BAB II
 PEMBAHASAN
  A.     Tafsir
1.         Pengertian
Secara bahasa , kata “tafsir” diambil dari kata “fassara-yufassiru-tafsira” yang berarti “keterangan atau uraian”.[1] Secara istilah para ulama’ memberi definisi tafsir berbeda-beda, namun ringkasnya sebagaimana diuraikan berikut ini;
Imam Abu Hayyan mendefinisikan tafsir dalam al-bahru al-muhith, seperti yang dinukilkan Al-Dzahabi dalam al-Tafsir wa al-mufassirun dengan tafsir adalah ilmu yang membahas cara-cara mengucapkan lafadz-lafadzal-quran dan menerangkan petunjuk-petunjuknya serta hukum-hukumnya yang mufrod dan murokkab, serta menjelaskan arti-arti lafadz itu ketika berada dalam susunan redaksi kalimat, dan menjelaskan ulasan-ulasan yang melengkapi semua.
Pendapat ini dianggap tidak jelas dan kurang tepat oleh Abu Syuhbah, sebagaimana tidak cukup mewakili dua tujuan pokok diturunkannya Al-quran yakni sebagai kitab petunjuk benderang kebahagian dunia akhirat, penyempurna kitab-kitab sebelumnya sebagai mukjizat samawi yang kekal hingga bumi diganti dengan bumi yang lain.
Selanjutnya Abu Syuhbah memberikan definisi tafsir dengan ilmu yang membahas tentang hal Ihwal Al-quran sebagai kitab hidayah dan mukjizat, berdasarkan dilalah yang dimaksud oleh Allah SWT. Sesuai kemampuan manusia setelah memenuhi syarat-syarat dan adab-adab yang seharusnya dimiliki oleh seorang mufassir.
2.         Macam-Macam Tafsir Berdasarkan Sumbernya
a)         Tafsir bil ma’tsur
Merupakan gabungan dari tiga kata; tafsir (mengungkap atau menyingkap), bi (dengan), dan al-ma’tsur (ungkapan yang dinukilkan oleh khalaf dari salaf). Dengan demikian secara etimologi tafsir bil ma’tsur berarti menyingkap isi kandungan Al-quran dengan penjelasan yang dinukilkan oleh khalaf dari salaf.[2]
Tafsir bil ma’tsur disebut juga bil riwayah atau tafsir bil manqul. Yang secara terminologis berarti penafsiran Al-quran yang didasarkan pada penjelasan Al-quran sendiri, dan penjelasan rasul (hadis), penjelasan para sahabat melalui ijtihadnya, dan aqwal tabi’in. merujuk pada definisi tersebut, ada empat otoritas yang menjadi sumber penafsiran bil ma’tsur. [3]
PertamaAl-quran yang dipandang sebagai penafsir terbaik terhadap Al-quran itu sendiri. Misalnya, penafsiran kata muttaqin pada surat Ali-Imran [33]: 1 dengan menggunakan kandungan ayat berikutnya, yang menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah menafkahkan hartanya, baik diwaktu lapang maupun sempit, dan seterusnya.
Kedua Otoritas hadis Nabi yang memang berfungsi sebagai penjelas (mubayyin) Al-quran. Misalnya, penafsiran Nabi terhadap kata ‘Az-Zulm’ pada surat Al-An’am [6] dengan pengertian syirik; dan pengertian ‘Al-quwwah dengan Ar-ramy(panah) pada firman Allah:
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ
Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda
Ketiga Otoritas penjelasan sahabat yang dipandang sebagai orang yang banyak mengetahui Al-quran. Misalnya, penafsiran Ibnu Abbas (w. 68/687)terhadap kandungan surat An-Nashr dengan kedekatan waktu kewafatan Nabi.
Keempat. Otoritas penjelasan tabi’in yang dianggap orang yang bertemu langsung dengan sahabat. Misalnya, penafsiran tabi’in terhadap surat Ash-Shaffat [37]: 65 dengan sya’ir ‘Imr Al-Qays.
Penafsiran tabi’in masih diperdebatkan para ulma’ karena mereka tidak hanya berdasarkan riwayat yang diterimanya tapi terkadang memasukkan ide-ide mereka atau melakukan ijtihad dan memberi interpretasi sendiri terhadap Al-quran. Mereka tidak mendengar langsung dari Nabi dan tidak mmengetahui situasi dan kondisi ketika Al-quran turun. Diantara ulama’ yang menolak otoritas mereka adalah Ibnu Syaibah dan Ibnu Aqli. Namun mayoritas ulama’, seperti Ad-Dahhak bin Al-Mujahim,Abi Al-‘Aliyyah Ar-Rayyah, Hasan Basri, dan ‘Ikrimah menerima otoritas mereka karena umumnya mendengar langsung dari sahabat.
Menurut Quraisy Shihab, penafsiran Nabi dan sahabat dibagi menjadi 2 kategori:[4]
1)        La majal li Al-‘aql fihi (masalah yang diungkapkan bukan dalam wilayah nalar) seperti masalah metafisika dan perincian ibadah.apabila riwayatnya sahih, diterima apa adanya tanpa ada pengembangan karena sifatnya diluar jangkauan akal.
2)        Fi majal li al-aql ( dalam wilayah nalar seperti masalah kemasyarakatan
Harus di akui penafsiran nabi pasti benar, tapi penafsiran harus didudukkan pada proporsinya yang tepat, apalagi jika dikaitkan dengan multi fungsi nabi.
Dalam pertumbuhannya tasir bin al-ma’tsur terbagi menjadi tiga periode. Periode 1 yaitu masa nabi, sahabat dan permulaan masa nabi. Ketika tafsir belum tertulis dan secara umum  periwayatannya secara lisan ( musafahah ). Periode 2 bemula dengan pengodifikasian hadis seara resmi masa pemerintahan ‘Umar Bin Abdul Aziz (95-101) tafsir bil ma’tsur ditulis digabung dengan hadis dan dihimpun dalam salah satu bab-bab hadits. Periode 3 dimulai dengan penyusunan kitab tafsir bil ma’tsur yang berdiri sendiri. Diantara kitab yang dipandang menempuh corak bil ma’tsur adalah: Jami’ Al-Bayan fi Tafsir Al-Quran (Ibn Jarir Ath-Thabari), Anwar At-Tanzil (Al-Baidhawi), dan Al-Durr Al-Mantsur fi At-Tafsir bi Al-Ma’tsur (Jalal Ad-Din As-Syuyuti).
Satu-satunya kitab tafsir bil ma’tsur yang barang kali murni adalah Al-Durr Al-Mantsur fi At-Tafsir bi Al-Ma’tsur(Jalal Ad-Din As-Syuyuti), karena rujukannya kepada Al-quran dan hadis, dua sumber kehidupan umat islam.
Keistemewaan tafsir bil ma’tsur:
Ø  Menekankan pentingnya bahasa dalam memahami Al-quran.
Ø  Memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan pesan-pesannya.
Ø  Mengikat mufassir dalam bingkai ayat-ayat sehingga membatasi untuk tidak terjerumus dalam subjektivitas yang berlebihan.
Kelemahan tafsir bil ma’tsur:
Ø  Terjadi pemalsuan (wadh) dalam tafsir.
Ø  Masuknya unsur israiliyyat yang didefinisikan sebagai unsur-unsur yahudi dan nasroni yang masuk kedalam penafsiran al quran.
Ø  Penghilangan sanad.
Ø  Terjerumusnya sang mufassir kedalam uraian kebahasaan dan kesastraan yang bertele-tele sehingga pesan pokok alqur’an menjadi kabur.
Ø  Sering konteks turunnya ayat (Asbab An-Nuzul) atau sisi kronologis turunnya ayat hukum yang dipahami dari uraian (nasikh-mansukh) hampir dapat dikatakan terabaiakan sama sekali sehingga ayat-ayat tersebut bagaikan turun ditengah-tengah masyarakat yang hampa budaya.
Dengan keistimewaan yang ada bukan berarti corak tafsir itu merupakan alternatif terbaik untuk masa kekinian mengingat pesatnya laju perubahan social dan perkembangan ilmu., untuk menyelesaikan masalah kekinian perlu pengembangan disamping seleksi yang ketat, dan juga memberikan porsi yang memadai bagi penggunaan takwil, suatu perangkat penafsiran alquran yang dapat, membongkar esensi alquran yang universal. Dengan demikian tafsir seharusnya bersifat dinamis seirng dengan dinamika perkembangnan social cultural masyarakat.
b)        Tafsir bil ro’yi
Merupakan gabungan tiga kata: tafsir, bi, dan ar ro’yi (keyakinan, pengaturan dan akal) identik dengan ijtihad.[5]Secara etimologi yaitu menyingkap isi kandungan al-qur’an dengan ijtihad yang dilakukan oleh akal. Tafsir bil ra’yi disebut juga bil biroyah atau tafsir bil ma’qul yang secara terminologi berarti tafsir al-qur’an yang didasarkan atas sumber ijtihad dan pemikiran mufassir terhadap tuntunan kaidah bahasa arab dan kesusastraannya, teori ilmu pengetahuan, setelah dia menguasai sumber-sumber tadi.
Diantara sebab yang memicu kemunculann corak tafsir bil ra’yi adalah semakin majunya ilmu keislaman yang diwarnai dengan kemunculan ragam disiplin ilmu, karya-karya para ulama aneka warna metode penafsiran, dan pakar-pakar di bidang masing -masing. dipicu pula oleh hasil interaksi umat islam dengan peradaban yunani yang banyak menggunakan akal.
Mengenai keabsahannya, para ulama’ terbagi kedalam dua kelompok:[6]
1.        kelompok yang melarangnya berpendapat bahwa:
Ø  Menafsirkan al-quran berdasarkan ra’yi berarti membicarakan (firman) Allah tanpa pengetahuan. Jadi, hasilnya hanya bersifat perkiraan semata. Padahal allah berfirman:

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya”. (Q.S. Al isra’;36)
Ø  Yang berhak menjelaskan hanyalah nabi, berdasarkan firman allah :
بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ ۗ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”,(Q.S An nahl;44)
Ø  Rosulullah bersabda :
من قل في القران برايه اوبما لايعلم فليتبوا مقعده من النار
“Siapa saja menafsirkan Al-Qur’an atas dasar pikirannya semata, atas dasar sesuatu yang belum diketahuinya, maka persiapkanlah mengambil tempat di neraka”
Ø  Sudah merupakan tradisi di kalangan sahabat dan tabiin untuk berhati-hati ketika berbicara tentang penafsiran al-quran.
2.        Kelompok yang mengizinkanya berpendapat bahwa:
Ø  Didalam al-quran banyak ditemukan ayat-ayat yang menyerukan untuk mendalami kandungan-kandungan al-quran.
Ø  Seandainya tafsir bil ra’yi di larang mengapa ijtihad di perbolekan. Nabi sendiri tidak menjelaskan setiap ayat al-quran. Ini menunjukan bahwa umatnya di izinkan berijtihad terhadap ayat-ayat yang belum di jelaskan nabi.
Ø  Para sahabat sudah biasa berselisih pendapat mengenai penafsiran suatu ayat. Ini menunjukan bahwa merekapun menafsirkan al-qur’an dengan ra’yinya. Seandainya tafsir bil ra’yi dilarang tentunya tindakan para sahabat itu keliru.
Ø  Rosulullah pernah berdoa untuk ibnu abbas. Doa itu berbunyi :
اللهم فقهه في الدين وعلمه التاءويل
ya Allah berilah pemahaman agama kepada ibn ‘Abbas dan ajarilah ia takwil
Seandainya cakupan takwil hanya mendengar dan menukilkan riwayat saja, tentunya pengkhususan doa diatas tidak bermakna apa-apa. Dengan demikian takwil yang dimaksud dalam doa itu adalah sesuatu diluar penukilan, yaitu ijtihad dan pemikiran.
Imam Al- Suyuthi mangatakan bahwa tafsir bil ra’yi yang diperbolehkan ada lima macam : [7]
1)        Penafsiran yang tidak berdasarkan atas ilmu pengetahuan yang semestinya sebagaimana yang ditetapkan syarat penafsiran.
2)        Tafsir ayat mutasyabihat yang maksudnya hanya diketahui oleh Allah SWT semata.
3)        Tafsir yang didasarkan pada madzab yang rusak dan madzab tersebut dijadikan tangkal pokok pada tafsirnya.
4)        Menghukumi secara pasti bahwa yang dimaksud oleh allah SWT begini tanpa berdasarkan dalil.
5)        Tafsir yang semata-mata didasarkan pada istihsan (menilai bahwa sesuatu itu baik-baik semata-mata berdasrkan persepsinya) dan hawa nafsu.
Contoh tafsir bil ra’yi yang tidak dapat diterima
Penafsiran sebagian mufassir terhadap surat al-baqarah (2) ayat 74 :
ثُمَّ قَسَتْ قُلُوبُكُمْ مِنْ بَعْدِ ذَٰلِكَ فَهِيَ كَالْحِجَارَةِ أَوْ أَشَدُّ قَسْوَةً ۚ وَإِنَّ مِنَ الْحِجَارَةِ لَمَا يَتَفَجَّرُ مِنْهُ الْأَنْهَارُ ۚ
“Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi. Padahal diantara batu-batu itu sungguh ada yang mengalir sungai-sungai dari padanya dan diantaranya sungguh ada yang terbelah lalu keluarlah mata air dari padanya dan diantaranya sungguh ada yang meluncur jatuh, karena takut kepada Allah. Dan Allah sekali-sekali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan”
Mereka menduga ada batu yang dapat berpikir, berbicara, dan jatuh karena takut kepada allah, seperti teks ayat diatas.
Diantara karya tafsir bil ra’yi yang dapat dipercaya :
1)        Mafatih Al-Ghaib, karya Fakhr Ar-Razi (w.606 H)
2)        Anwar At-Tanzil wa asrar at-takwil, karya Al-BAidhawi (w.691 H)


3.      Implikasi tafsir dalam studi Al-Qur’an
Penafsiran Al-Qur’an yang terlahir sesuai dengan koridor tafsir dapat membantu manusia untuk menangkap rahasia-rahasia Allah dan alam semesta baik yang tampak maupun yang tersembunyi.
Sebagaimana penafsiran Al-Qur’an dapat membebaskan manusia dari belenggu perbudakan baik oleh manusia maupun harta, dan dapat membimbingnya untuk dapat menyembah Allah Yang Maha Bijaksana.
Dengan penafsiran,seseorang dapat berhubungan dengan sesamanya sekaligus dengan penciptanya.




  B.     Takwil   
1.    Pengertian
Secara bahasa diambil dari kata “awwala-yu’awwilu-takwilan” yang berarti menerangkan, menjelaskan
Secara istilah ulama’ juga berbeda pendapat:
a)      Menurut ulama’ salaf, mempunyai dua pengertian:
1)      “Menafsirkan dan menjelaskan makna suatu ungkapan, baik bersesuaian dengan makna lahirnya ataupun bertentangan.” Definisi takwil seperti ini sama dengan definisi tafsir. Dalam pengertian ini pula, ath-thabari menggunakan istilah takwil di dalam kitab tafsirnya.
2)      ”Hakikat sebenarnya yang dikehendaki suatu ungkapan.”

b)      Menurut ulama’ khalaf
صرف الفظ عن المعني الراجح الي معني المر جوح لد ليل يقترن به
“Mengalihkan sesuatu lafadz dari maknanya yang rajah pada makna yang marjub karena ada indikasi untuk itu.”
Dapat disimpulkan takwil secara istilah adalah suatu usaha untuk memahami lafadz-lafadz (ayat) al-qur’an melalui pendekatan memahami arti atau maksud sebagai kandungan lafadz itu.[8]
Dahulu sebagian ulama merasa puas dengan menyatakan “Allahu a’lam bi muradihi.” (Allah mengetahui maksudnya). Tapi ini tidak memuaskan banyak pihak, apalagi saat ini. Karena itu sedikit demi sedikit sikap seperti itu berubah dan para mufassir akhirnya mengunakan takwil yang memperluas, maka sekaligus tidak menyimpang darinya.[9]
Dua syarat pokok pentakwil :
a)      Makna yang dipilih sesuai dengan hakikat kebenaran.
b)      Arti yang dipilih dikenal oleh bahasa arab klasik.

2.    Implikasi takwil dalam studi Al-Qur’an

Takwil akan sangat membantu dalam memahami dan membumikan Al-qur’an ditengah kehidupan modern saat ini dan masa-masa yang akan datang.
Tapi, perlu diingat tidaklah tepat mentakwilkan suatu ayat, semata-mata berdasarkan pertimbangan akal dan mengabaikan factor kebahasaan teks ayat, lebih-lebih ia bertentangan dengan prinsip-prinsip kaidah kebahasaan. Ini berarti mengabaikan ayat itu sendiri.


  C.     Hermeneutika
1.    Pengertian
Hermeneutika bersal dari bahasa yunani hermeneuein dan hermenia yang masing-masing berarti “menafsirkan dan penafsiran.” Hermeneutika adalah upaya menjelaskan dan menelusuri pesan dari pengertian dasar dari sebuah ucapan atau tulisan yang tidak jelas, kabur, remang-remang dan kontradiktif yang menimbulkan kebingungan bagi pendengar atau pembaca.
Tiga unsur utama dalam hermaneutika yaitu sifat-sifat teks, alat apa yang dipakai untuk memahami teks, dan bagaimana pemahaman dan penafsiran itu ditentukan oleh angapan-angapan dan kepercayaan-kepercayaan mereka yang menerima dan menafsirkan teks.[10]
Gambaran kronologis perkembanagan pengetian dan pendefinisian terhadap hermeneutika oleh Richad E. Palmerdibagi dalam enam kategori yaitu :
a)      Hermeneutika sebagai teori penafsiran kitab suci.
b)      Hermeneutika sebagai metode filologi
c)      Hermeneutika sebagai ilmu pemahaman linguistic
d)     Hermeneutika sebagai fondasi dari geisteswissenschaft.
e)      Hermeneutika sebagai fenomenologi dasein dan pemahaman eksistensial
f)       Hermeneutika sebagai sistem interpretasi.
Salah satu dimensi yang paling dekat dari agama dengan hermeneutika adalah al-qur’an, karena hermeneutika pada dasarnya muncul sebagai satu metode untuk memahami kitab suci.
Persoalan yang sering dihadapi adalah bagaimana kitab suci mampu berbicara dengan generasi yang datang setelah teks itu lahir? Bagaimana teks kitab suci itu bisa operasional dan fungsional dalam masyarakat yang berbeda corak hidup dan cultural budayanya dengan masyarakat saat teks tersebut lahir?
Apakah jaminanya sebuah penafsiran atau pemahaman itu bisa diterima? Bisakah pesan teks itu disampaikan tanpa mengalami distorsi dan penyimpangan makna?, dan lain sebagainya.
Istilah hermeneutika sendiri dalam sejarah keilmuan islam, khususnya tafsir al-qur’an klasik, memang tidak ditemukan. Istilah tersebut justru popular ketika islam dalam masa kemunduran. Meski demikian, menurut Farid Esack dalam bukunya Qur’an : Liberation and Pluralism, praktek hermeneutika sebenarnya telah dilakukan oleh umat islam sejak lama, khususnya ketika menghadapi al-qur’an. Bukti dari hal itu adalah :
1)      problematika Hermeneutika itu senantiasa dialami dan dikaji, meski tidak ditampilkan secara definitif. Hal ini terbukti dari kajian-kajian mengenai asbabun nuzul dan nasakh-mansukh
2)      Perbedaan antara komentar-komentar yang actual terhadap al-qur’an (tafsir) dengan aturan, metode penafsiran telah ada sejak munculnya literature-literatur tafsir yang disusun dalam bentuk ilmu tafsir.
3)      Tafsir tradisional selalu dimasukan dalam kategori-kategori, misalnya tafsir syi’ah, tafsir filsafat, dan sebagainya. Itu menunjukan adanya kelompok-kelompok, ideologi-ideologi, periode-periode maupun harison-horison social tertentu dari tafsir.

2.     Implikasi hermeneutika dalam studi Al-Qur’an

Meskipun demikian, operasional hermeneutika secara utuh sering kali ditentang oleh umat islam tradisional, karena hermeneutika ini setidaknya membawa tiga macam implikasi yang bertentangan dengan pendirian para ilmuan muslim konvesional. Tiga macam implikasi tersebut adalah :
1)      Hemeneutika membawa implikasi bahwasanya tanpa konteks, teks itu tidak berharga dan bermakna; sementara ide tradisional menyatakan bahwa makna yang sebenarnya itu adalah apa yang dimaksud oleh allah.
2)      Hermeneutika memberi penekanan kepada manusia sebagai “perantara” yang menghasilkan makna, sementara ide tradisional menyatakan bahwa Tuhanlah sebenarnya yang menganuhgerahkan pemahaman yang benar terhadap seseorang.
3)      Sangat berbeda dengan tradisi hermeneutika, ilmuan muslim tradisional telah membuat pembedaan yang tidak terjembatani antara teks al-qur’an dan tafsir serta penerimanya, teks al-qur’an dianggap sangat sakral sehingga makna yang sebenarnya tidak mungkin bisa dicapai.
Implikasinya, cara pemahaman ini, disamping mengandaikan adanya pluralitas penafsiran dan pluralitas makna, juga pembacaan yang berorientasi pada transformasi dan liberasi. Dengan kata lain hermeneutika bertujuan untuk memaknai Al-Qur’an dengan melibatkan konteks penafsiran.




[1] Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an,CV Pustaka Setia, Bandung, 2011, hlm.209.
[2] Mawardi Abdullah, Ulumul Qur’an, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2011, hlm.154.
[3] Rosihon Anwar, op.cit. hlm.214.
[4] Ibid, hlm.216.
[5] Mawardi Abdullah, loc.cit. hlm.155.
[6] Rosihon Anwar, op.cit. hlm.221.
[7] Mawardi Abdullah, loc.cit. hlm.158.
[8] Rosihon Anwar, op.cit,hlm.211.
[9]M.Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kahidupan Masyarakat, Mizan, Bandung, 1998, hlm.90.
[10] Fahruddin Faiz, Hermeneutika Qur’ani, Qalam,Yogyakarta, 2002, hlm.21.
 















BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dapat disimpulkan tafsir adalah ilmu untuk memahami kitab Allah yang diturunkan kepada nabi-Nya Muhammad SAW. Dan menjelaskan makna-maknanya, mengeluarkan hokum-hukum dan hikmah-hikmahnya. Menguraikannya dari segi bahasa, nahwu, sharaf, ilmu bayan, ushul fiqih dan ilmu Qiraat, untuk mengetahui sebab-sebab turunnya ayat dan nasikh mansukh.
Takwil adalah suatu usaha untuk memahami lafadz-lafadz (ayat) Al-Qur’an melalui pendekatan memahami arti atau maksud sebagai kandungan lafadz itu.
Hermeneutika adalah upaya menjelaskan dan menelusuri pesan dari pengertian dasar dari sebuah ucapan atau tulisan yang tidak jelas, kabur, remang-remang dan kontradiktif yang menimbulkan kebingungan bagi pendengar atau pembaca.
Tafsir, takwil dan hermeneutika Al-Qur’an mempunyai objek pembahasan satu yaitu Al-Qur’an yang merupakan kitab mukjizat dan kitab hidayah.



B.     Saran
Dalam penyusunan makalah ini saya menyadari bahwa masih banyak kekurangan-kekurangan, hal ini disebabkan karena keterbatasan pengetahuan, literature dan lain sebagainya, oleh karena itu saya mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk penyempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

Anwar,Rosihon.2011.Ulum Al-Qur’an.Bandung: CV Pustaka Setia
Abdullah, Mawardi.2011. Ulumul Qur’an.Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Shihab, M.Quraish. 1998. Membumikan Al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kahidupan Masyarakat  Bandung: Mizan
Faiz,Fahruddin. 2002. Hermeneutika Qur’ani. Yogyakarta: Qalam




0 Response to "makalah tafsir takwil dan hermeneutika"

Post a Comment