Kedudukan Ar-ra'yu sebagai Landasan Hukum Islam



Referensi Makalah
Referensi
Pada dasarnya umat Islam yang beriman Kepada Allah swt. Meyakini bahwa Sumber utama Ajaran Islam yaitu Alquran dan Hadis sudah sempurna. Firman Allah dalam Alquran sudah sempurna membahas aturan-aturan, hukum, ilmu pengetahuan (filsafat), kisah, ushul fiqh dan lain-lain. Begitu juga Hadis Rasulullah yang salah satu sifatnya menjadi penjelasan ayat-ayat dalam Alquran. Posisi Hadis adalah penjelas dan sumber kedua setelah Alquran.
Dalam kehidupan sehari-hari ternyata masih banyak perdebatan dalam masyarakat tentang hukum Islam. Ada yang berdebat karena persoalan penafsiran dan ada pula karena belum ditemukan ayat Alquran atau Hadis yang menjelaskan perkara tersebut.
Dari permasalahan di atas, berdasarkan referensi yang ditemukan menyebutkan ada sumber ajaran islam selain Alquran dan Hadis (Sumber Pokok) yaitu al-Ra’yu. Berikut adalah uraiannya
1. Pengertian al-Ra’yu
Kata al-ra’yu berasal dari kata ra’a, yarā’ ra’yan yang berarti memperlihatkan, kemudian dari kata tersebut terbentuk kata ra’yun yang jamaknya arā’u artinya pendapat pikiran. Dalam Maqāyis dikatakan bahwa ahl al-ra’yu adalah orang yang berpegang kepada akal.[1]Istilah al-ra’yu dalam Ilmu Ushul adalah mencurahkan segala kemampuan dalam mencari hukum syara’ yang bersifat zanni, dengan menggunakan rasio yang kuat dan yang bersangkutan merasa tidak mampu lagi mengupayakan lebih dari itu.[2]
Berkenaan dengan batasan definisi al-ra’yu di atas, maka dipahami bahwa hanyalah hukum-hukum syara’ yang praktis dan zhanni yang dapat dimasuki al-ra’yu. Selain itu, dalam definisi tersebut juga diketahui al-ra’yu adalah mencurahkan segala kemampuan berdasarkan rasio yang hanya dapat dilakukan oleh seorang muslim yang kuat akal dan aqidahnya, mulia akhlaknya, menguasai bahasa Alquran dan hadis, mengetahui usul fikih, ilmu fikih dan maqāshid al-syari’ah.[3]Jadi penggunaan ra’yu menurut ajaran Islam tidak sama dengan berpikir lieberal yang hanya mengutamakan rasio saja, dan mengesampingkan aqidah, akhlak, pengetahuan yang mendalam tentang Alquran dan hadis, serta kaidah-kaidah fikih.
2. Al-Ra’yusebagai Sumber Hukum
Keabsahan al-ra’yu sebagai sumber hukum Islam bersumber dari riwayat hadis tentang diutusnya Muaz bin Jabal ke Yaman oleh Nabi saw. Ketika sahabat Mu’az bin Jabal diutus oleh Nabi saw ke Yaman untuk bertindak sebagai hakim, beliau diizinkan oleh Nabi saw untuk menggunakan ra’yu. Hal ini dijelaskan dalam riwayat sebagai berikut :

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ e لَمَّا أَرَادَ أَنْ يَبْعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ قَالَ كَيْفَ تَقْضِي إِذَا عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ قَالَ أَقْضِي بِكِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ e قَالَ فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ e وَلَا فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِي وَلَا آلُو فَضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ e صَدْرَهُ[4]
terjemahnya :
Ketika Rasulullah saw hendak mengutus Mu’az ke Yaman, maka Rasulullah saw bertanya: Apa yang kau lakukan jika kepadamu diajukan suatu perkara yang harus diputuskan ? Jawabnya: Aku memutuskannya berdasarkan Alquran. Ditanya lagi, bagaimana jika tidak ada (kau) temukan dalam Alquran ?. Jawabnya: Dengan Sunnah Rasulullah saw. Ditanya lagi, bagaimana jika tidak terdapat dalam al-Sunnah ? Jawabnya : aku akan berijtihad dengan pikiranku, aku tidak akan membiarkan suatu perkara pun tanpa putusan. (dengan jawab-jawaban itu), maka Rasulullah saw menepuk dadanya (Mu’az).
Berdasarkan riwayat di atas, dipahami bahwa yang dilakukan Mu’az dalam menetapkan hukum adalah secara terstruktur mulai dari Alquran, hadis, lalu al-ra’yu (akal pikirannya).
Dalam perkembangan ilmu Islam, dikenal tiga kelompok yang meng-gunakan ra’yu,[5]yaitu para ahli fikir teologi (mutakallimun), para ahli fikir bidang hukum (fuqaha), dan para ahli fikir filsafat murni (filosof). Ketika kelompok tersebut sama-sama memfungsikan akal untuk melakukan kegiatan berfikir dan menalar. Namun karena bidang garapannya berbeda, maka masing-masing kelompok memounyai dan mengembangkan metode yang berbeda.
Metode penalaran para ahli fikir di bidang hukum disebut ijtihad. sementara itu, para ahli fikir di bidang teologi disebut nazar yang sasarannya memantapkan akidah tentang Allah, alam ghaib, rasul dan wahyu yang merupakan sendiri dasar keimanan, untuk menjauhkan keraguan yang sewaktu-waktu menggoda pikiran manusia.
Pertanyaan yang muncul kemudian, sampai dimana peranan akal (al-ra’yu) dalam hukum Islam ? Jawabannya menurut H. Minhajuddin adalah peranan akal ditetapkan secara khusus kepada hal-hal yang berhbungan dengan kehidupan perorangan dan masyarakat dalam segenap lapangan kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan berbegai aktivitsanya. Adapun hal-hal yang sudah nasnya dengan jelas atau qat’iy, maka hal itu kita wajib terima sebagai ta’abbudy.[6]Selanjutnya, Al-Gazāli berpendapat bahwa akal pikiran termasuk sandaran utama untuk mengeluarkan (menetapkan) hukum-hukum syariat. Sekiranya, hukum-hukum sesuatu tidak ada nashya dan tidak pula didapatkan dalam ijma’, maka akal lah yang memegang peranan penting.[7]
Sepeninggal Nabi saw, memang banyak sahabat yang menggunakan akal dalam menetapkan hukum. Khalifah Abū Bakar (w. 13 H) ketika meng-hadapi suatu kasus, beliau mencari pemecahannya dalam Alquran. Jika tidak terdapat dalamnya, maka dia mencari di hadis, dan jika dia tidak menemukan-nya maka dia kumpulkan beberapa tokoh ulama sahabat untuk diajak ber-musyawarah. Hal yang sama dilakukan juga oleh Umar, bahkan beliau pernah mengirin surat perintah ke Abū Mūsa al-Asyari ketika itu menjadi Qadhi di Basrah, sebagai berikut :
الفهم،الفهم فيما تلجلج فى صدرك مما ليس فى كتاب ولا سنة، إعرف الأشباه والأمثال وقس الأمور عند ذلك
terjemahnya :
Pahamilah, pahamilah menurut apa yang ada dalam gejolak hatimu (pakailah rasio) tentang apa yang tidak terdapat dalam Alquran dan sunnah. Kenalilah hal-hal yang serupa dan yang sama, dan ketika itu kiaskanlah dan bandingkanlah satu sama lain.[8]
Praktek penggunaan al-ra’yu yang disebutkan terakhir, dikembangkan Abdullah bin mas’ud yang pindah ke Irak kemudian mengajar ulama-ulama di sana, dan ulama-ulama di tempat lain juga selalu menggunakan ra’yu mereka ketika dalam persoalan hukum tidak ditemukannya dalam sumber pokok hukum Islam, yakni Alquran dan hadis


[1]Abū Husayn Ahmad Ibn Fāris bin Zakāriyah, Mu’jam Maqāyis al-Lughah (Mesir: Isā al-Bāb al-Halab wa Awlāduh, 1972), h. 147
[2]H. Minhajuddin, Filasafat Hukum Islam (Cet.I; Ujungpandang: Yayasan Ahkam, 1994), h. 7.
[3]Ibid., h. 8
[4]Abū Dawud Sulaimān Muhammad bin Asy’aś al-Sijistāni, Sunan Abū Dawud, juz II (Indonesia: Maktabah Dahlān, t.th), h. 308.
[5]Uraian tentang fungsi akal dan wahyu tekah dibahas dengan cermat oleh Harun Nasution dalam bukunya, Teologi Islam; Aliran-aliran, Sejarah dan Perbandingan (Jakarta: Universitas Indonesia Pres, 1986), h. 79-145
[6]H. Mihajuddin, op. cit., h. 15
[7]Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al- Gazāli, al-Musytashfā min ‘Ilm al-Ushūl, jilid II (Bairut: Dār al-Fikr, t.th.), h. 351
[8]Minhajuddin, op. cit., h. 20

0 Response to "Kedudukan Ar-ra'yu sebagai Landasan Hukum Islam"

Post a Comment