Sejak tahun 1945 lalu, Indonesia tealh berhasil melepaskan diri dari penjajahan fisik yang dilakukan oleh kolonial. Namun, sejatinya penjajahan itu tidak pernah berakhir karena meraka mengubah “wajahnya” dengan model yang lebih sistematis, halus, dan seolah-olah humanis. Penjajahan yang dilakukan dengan dominasi dan hegomoni lewat teori dan ideologi developmentalisme, yang pada kemudian hari dikembangkan menjadi mekanisme globalisasi.
Pada era inilah muncul model penjajahan baru yang seakan menolong, tetapi sesungguhnya menjerumuskan. Hal ini dapat dilihat dari sepak terjang lembaga finansial global yang diperkuat dengan ideologi pasar bebas, seperti International Monetory Fund (IMF), Word Bank, Asian Development Bank (ADB), World Trade Organization (WTO), perusahaan transnasional, dan lain-lain. Atas petunjuk dan bantuan berbagai lembaga itulah, Indonesia kontemporer secara politik-ekonomi belum merdeka secara hakiki.
Buku Era Baru Gerakan Muhammadiyah adalah sebuah karya yang berusaha mencari relevansi antara sistem tauhid dengan konsepsi keadilan pada era global ini. Buku bunga rampai karya 16 penulis ini terbagi atas 3 bagian, dengan pokok bahasan cukup lantang menyerukan perlawanan ketidakadilan. Mereka mngusung semangat dan perspektif baru untuk menandingi laju hegomoni kapitalisme untuk meretas keadilan universal.
Bagian pertama berbicara tentang reintelektualissasi Muhammadiyah, dengan harapan agar organisasi ini menyeimbangkan antara kuantitas dan kualitas amal usahanya. Sayang, upaya itu menimbulkan gesekan di internal Muhammadiyah, lebih-lebih ketika pihak ketiga ikut memprovokasi. Kelahiran Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) misalnya, telah menimbulkan dikotomi dua kutub yang saling bermusuhan (h 48).
Dalam konteks inilah buku Era Baru Gerakan Muhammadiyah menjadi tabayyun, atau mungkin ta’aruf bagi JIMM kepada semua pihak. Apalagi pemahaman terhadap JIMM selama ini seringkali dilakukan tanpa melewati mekanisme yang dialogis dan produktif, bahkan menafikan keberadaan orang-orang yang terlibat didalamnya.
Bagian kedua berbicara tentang eksplorasi dan reformulasi teologi al-Ma’un sebagai basis pemihakan terhadap New-Mustadlafien, dengan menelususuri pembacaan KH. Ahmad Dahlan terhadap surat al-Ma’un. Dari surat legenda di Muhammadiyah ini, menyatakan bahwa pendusta agama juga bisa datang dari orang yang rajin shalat, tetapi riya’ (ayat 4). Dalam 2 ayat sebelumnay ditegaskan bahwa orang yang riya’ adalah mereka yang antisosial, yang tidak mempedulikan anak yatim dan orang miskin (h 101).
Dalam bab ini, para penulis berusah melihat dan menawarkan solusi kemiskinan dan ketidakadilan dan perspektif religiusitas. Keimanan terhadap Allah Swt harus berimplikasi kepada praktek yang membebaskan orang-orang yang tidak dihargai kemanusiannya. Peran ini semakin penting, karena banyak kalangan marginal yang tidak menyadari kondisinya sebagai “korban”.
Sedangkan pada bagian ketiga, buku ini mengulas bagaimana globalisasi dan kapitalisme menggerogoti sendi-sendi kamanusiaan. Proses ini secara faktual melahirkan new-mustadlafien yang berupa anak yatim secara sosial, ekonomi, maupun politik. Untuk itulah bagian ketiga ini juga menawarkan berbagai strategi perlawanan terhadap hegomoni dab dominasi kapitalisme, baik lewat counter movement, counter hegemony, maupun infrapolitics (h 161).
Membaca buku Era Baru Gerakan Muhammadiyah ini akan terasa menimbulkan simpati dan empati terhadap mereka yang kurang beruntung. Buku ini layak dijadikan bacaan bagi siapa saja yang intes pada persoalan kecongkakan terhdap kapitalisme global, sekaligus sebagai acuan untuk mencari jawabannya. Selamat Membaca.
Resensi buku Era Baru Gerakan Muhammadiyah pernah di muat Majalah Matan Edisi 22, 2008.
Judul Buku : Era Baru Gerakan Muhammadiyah
Editor : Pradana Boy
Penerbit : UMM Press Malang
Cetakan : Pertama 2008
Tebal : xxiv – 223 halaman
Peresensi : Slamet, S.Ag
0 Response to "Muhammadiyah Era Neokolonialisme"
Post a Comment