BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Semenjak keruntuhan rezim diktatoriat Orde Baru, masyarakat semakin berani untuk beraspirasi dan mengekspresikan tuntutannya terhadap perkembangan dunia bisnis Indonesia. Masyarakat telah semakin kritis dan mampu melakukan kontrol sosial terhadap dunia usaha. Hal ini menuntut para pelaku bisnis untuk menjalankan usahanya dengan semakin bertanggungjawab. Pelaku bisnis tidak hanya dituntut untuk memperoleh keuntungan dari lapangan usahanya, melainkan mereka juga diminta untuk memberikan kontribusi positif terhadap lingkungan sosialnya.Perubahan pada tingkat kesadaran masyarakat memunculkan kesadararan baru tentang pentingnya melaksanakan apa yang kita kenal sebagai Corporate Social Responsibility (CSR). Pemahaman itu memberikan pedoman bahwa korporasi bukan lagi sebagai entitas yang hanya mementingkan dirinya sendiri saja sehingga ter-alienasi atau mengasingkan diri dari lingkungan masyarakat di tempat mereka bekerja,melainkan sebuah entitas usaha yang wajib melakukan adaptasi kultural dengan lingkungan sosialnya.
CSR adalah basis teori tentang perlunya sebuah perusahaan membangun hubungan harmonis dengan masyarakat tempatan. Secara teoretik, CSR dapat didefinisikan sebagai tanggung jawab moral suatu perusahaan terhadap para strategicstakeholdersnya, terutama komunitas atau masyarakat disekitar wilayah kerja dan operasinya. CSR memandang perusahaan sebagai agen moral. Dengan atau tanpa aturan hukum, sebuah perusahaan harus menjunjung tinggi moralitas. Parameter keberhasilan suatu perusahaan dalam sudut pandang CSR adalah pengedepankan prinsip moral dan etis, yakni menggapai suatu hasil terbaik, tanpa merugikan kelompok masyarakat lainnya. Salah satu prinsip moral yang sering digunakan adalah goldenrules, yang mengajarkan agar seseorang atau suatu pihak memperlakukan orang lain sama seperti apa yang mereka ingin diperlakukan. Dengan begitu, perusahaan yang bekerja dengan mengedepankan prinsip moral dan etis akan memberikan manfaat terbesar bagi masyarakat.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Jelaskan Dua Pandangan Tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan !
1.2.2 Jelaskan CSR Sebagai Suatu Strategi !
1.2.3 Bagaimana Sinergi CSR Dalam Perusahaan Multibisnis ?
1.2.4 Jelaskan Strategi Dalam Melakukan Tanggung Jawab Sosial !
1.2.5 Jelaskan Manfaat Tanggung Jawab Sosial !
1.3 Tujuan
1.3.1 Menjelaskan Dua Pandangan Tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
1.3.2 Menjelaskan CSR Sebagai Suatu Strategi
1.3.3 Menjelaskan Sinergi CSR Dalam Perusahaan Multibisnis
1.3.4 Menjelaskan Strategi Dalam Melakukan Tanggung Jawab Sosial
1.3.5 Menjelaskan Manfaat Tanggung Jawab Sosial
1.4 Manfaat
1.4.1 Untuk Mengetahui Dua Pandangan Tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
1.4.2 Untuk Mengetahui CSR Sebagai Suatu Strategi
1.4.3 Untuk Mengetahui Sinergi CSR Dalam Perusahaan Multibisnis
1.4.4 Untuk Mengetahui Strategi Dalam Melakukan Tanggung Jawab Sosial
1.4.5 Untuk Mengetahui Manfaat Tanggung Jawab Sosial
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Dua Pandangan Tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
2.1.1 Pandangan Tradisional
Menilik sejarahnya, gerakan CSR yang berkembang pesat selama dua puluh tahun terakhir ini lahir akibat desakan organisasi-organisasi masyarakat sipil dan jaringannya di tingkat global. Keprihatinan utama yang disuarakan adalah perilaku korporasi, demi maksimalisasi laba, lazim mempraktekkan cara-cara yang tidak fair dan tidak etis, dan dalam banyak kasus bahkan dapat dikategorikan sebagai kejahatan korporasi. Beberapa raksasa korporasi transnasional sempat merasakan jatuhnya reputasi mereka akibat kampanye dalam skala global tersebut.
Pertemuan Yohannesburg tahun 2002 yang dihadiri para pemimpin dunia memunculkan konsep social responsibility, yang mengiringi dua konsep sebelumnya yaitu economic dan environment sustainability. Ketiga konsep ini menjadi dasar bagi perusahaan dalam melaksanakan tanggung jawab sosialnya (Corporate Social Responsibility). Pertemuan penting UN Global Compact di Jenewa, Swiss, Kamis, 7 Juli 2007 yang dibuka Sekjen PBB mendapat perhatian media dari berbagai penjuru dunia. Pertemuan itu bertujuan meminta perusahaan untuk menunjukkan tanggung jawab dan perilaku bisnis yang sehat yang dikenal dengan corporate social responsibility. Sesungguhnya substansi keberadaan CSR adalah dalam rangka memperkuat keberlanjutan perusahaan itu sendiri dengan jalan membangun kerjasama antar stakeholder yang difasilitasi perusahaan tersebut dengan menyusun program-program pengembangan masyarakat sekitarnya. Atau dalam pengertian kemampuan perusahaan untuk dapat beradaptasi dengan lingkungannya, komunitas dan stakeholder yang terkait dengannya, baik lokal, nasional, maupun global. Karenanya pengembangan CSR kedepan seyogianya mengacu pada konsep pembangunan yang berkelanjutan
Ada dua konsep awal yang sejak dulu menjadi landasan-landasan perusahaan-perusahaan dalam menjalankan praktik tanggung jawab sosial. Di satu sisi, ada pihak yang mengatakan bahwa urusan bisnis adalah menjalankan bisnis saja. Pandangan seperti ini dipopulerkan oleh Milton Friedman. Menurut Friedman, hanya ada satu tanggung jawab sosial perusahaan, yaitu menggunakan sumber daya dengan aktivitas-aktivitas yang bisa mendapatkan dan meningkatkan laba perusahaan, sepanjang semuanya sesuai aturan yang ada, terbuka, dan bersaing bebas tanpa kecurangan. Pemerintah dapat mengatur berbagai aturan main tentang cara operasi yang tidak merusak lingkungan dan mengganggu masyarakat, tentang perpajakan, tentang penggunaan tenaga kerja, dan lain-lain. Perusahaan tinggal mengikutinya. Jadi, pandangan mendirikan dan menjalankan bisnis seperti ini motifnya sungguh-sungguh untuk motif ekonomi semata.
Pandangan ini sekaligus juga menyiratkan bahwa kalau upaya perusahaan motifnya bukan ekonomi (misalnya untuk kesejahteraan masyarakat sekitar), suatu saat perusahaan bisa memiliki kemungkinan merugi karena meningkatnya biaya-biaya yang dikeluarkan perusahaan. Kalau biaya meningkat, perusahaan akan meningkatkan harga-harga menjadi mahal. Apalagi persaingan yang dihadapi perusahaan juga tidak mudah. Jadi, ketimbang mengeluarkan uang banyak untuk layanan sosial, lebih baik perusahaan menggunakannya untuk pengembangan produk dan sejenisnya. Sementara itu, masyarakat pada dasarnya bisa berpartisipasi, menikmati keuntungan atas operasi perusahaan dengan mekanisme “go public” dari perusahaan. Lantas siapa yang harus mengurusi masyarakat dan urusan sosial lainnya?. Bagi pendukung pandangan seperti ini, untuk urusan sosial dan lingkungan seharusnya hanya menjadi urusan pemerintah.
2.1.2 Pandangan Sosioekonomi
Ada pandangan yang menyebutkan bahwa kalangan bisnis selayaknya memiliki tanggung jawab yang lebih. Pandangan ini disebut sebagai sosioeconomics view. Ada empat pokok pikiran dari pandangan ini, yaitu :
a. Tanggung jawab perusahaan lebih daris ekedar menciptakan laba, yaitu perusahaan juga terlibat untuk urusan menjaga dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
b. Perusahaan pada dasarnya bukan pihak independen yang hanya bertanggung jawab kepada pemegang sahamnya.
c. Perusahaan seharusnya memiliki tanggung jawab moral kepada masyarakat yang lebih luas, baik untuk urusan sosial, hukum, dan berbagai masalah perpolitikan.
d. Perusahaan haruslah melakukan hal-hal yang “baik dan benar” dan bermanfaat bagi masyarakat dalam menjalankan usahanya.
Salah satu pihak yang menjadi pengusung pandangan sosioeconomics view ini adalah Archie Carrol yang mengaitkan tanggung jawab sosial perusahaan dan tanggung jawab perusahaan terdiri dari empat level.
1. Tanggung jawab ekonomi; menghasilkan barang dan jasa yang bernilai bagi masyarakat sehingga perusahaan dapat membayar pada pemegang saham dan kreditornya.
2. Tanggung jawab legal; ditentukan pemerintah melalui produk hukum dan dipatuhi oleh perusahaan. Di tingkat ini perusahaan bagaimanapun harus mematuhi apapun peraturan perusahaan terkait dengan operasinya. Perusahaan dianjurkan untuk peraturan ini akan membawa manfaat sendiri bagi perusahaan. Misalnya, sebuah perusahaan yang menggunakan bahan-bahan kimia, saat mengelola limbahnya, dianjurkan untuk mematuhi aturan pemerintah tentang ambang batas.
3. Tanggung jawab etika; adalah mengikuti kepercayaan yang berlaku tentang perilaku tertentu di masayarakat. Di sinilah urutan selanjutnya berada, di mana perilaku perusahaan sangat ditentukan oleh perlakuan utama dari mahasiswanya.
4. Tanggung jawab diskresi; adalah sesuatu yang secara murni dan sukarela tapi perusahaan memperlakukannya sebagai suatu yang wajib.
Bagi Carrol, dua tanggung jawab yang terakhir inilah yang disebut tanggung jawab sosial. Dan keempat tanggung jawab ini menurut Carrol harus berlangsung berurutan. Sebuah perusahaan baru bisa menjalankann diskresi, kalau ia sudah mampu menjalankan tanggung jawab yang ada sebelumnnya. Meskipun begitu, sesuatu yang dianggap tanggung jawab sosial, bisa saja suatu saat menjadi legal. Untuk kasus Indonesia, perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam industry memanfaatkan sumber daya alam yang bergerak dalam industry pertambangan, aktivitas CSR dianggap sebagai sesuatu yang menjadi keharusan.
Pandangan kedua ini muncul karena bergesernya paradigma dalam memandang bisnis dan kehidupan. Masyarakat, bergeser dari homoeconomicus, yang disampaikan oleh Friedman, ke greedy economic animal. Dalam menjalankan bisnisnya, pengusaha sering kali menjadi tamak dan akhirnya mengorbankan dan bahkan merugikan kepentingan pihak lain. Hanya karena mencari untung, kepentingan buruh ditekan, dan dibayar dengan semena-mena dan tidak manusiawi. Karena ingin mengejar keuntungan, peraturan-peraturan pemerintah dicari celahnnya, pemerintah yang mengawasi dikelabui, sementara masyarakat sekitar mungkin terkena dampak negatifnya. Contoh lain, hanya karena ingin untung, perusahaan melakukan persaingan yang tidak sehat dengan cara kampanye yang negative atas produk-produk pesaing. Intinya, apa yang dilihat Friedman bahwa perusahaan bisa berjalan tanpa berbuat kecurangan menjadi sulit diterapkan karena perusahaan menjadi mengahalalkan segala cara untuk memperoleh keuntungan.
2.2 CSR Sebagai Sebuah Sinergi
Berbagai penelitian tentang pelaksanaan dan pengelolaan CSR di sebuah perusahaan sudah dilakukan banyak peneliti baik di dalam negeri maupun luar negeri. Konsep-konsepnya berevolusi dari gagasan yang sederhana berkembang menjadi sesuatu yang kompleks dan multiaspek. Mulai dari aspek filantropi, pengembangan komunitas (Kleinrichert, 2007), keterbukaan, pengukurann kinerja CSR, persepsi konsumen, penciptaan nilai (Porter & Kramer, 2006; Husted & Allen, 2007).
Walaupun kesadaran bisnis atas CSR tinggi, tapi pada dasarnnya banyak yang impaknya kurang begitu jelas. Porter & Kramer (2006) secara agak sinis mengatakan lebih banyak unsure kosmetiknya, karena tidak begitu jelas dampak strategiknya atau operasionalnya. Perusahan-perusahaan hanya sekedar memanfaatkannya untuk kehumasan dan kampanya media, dan ajang pamer perusahaan dengan laporan-laporan yang mewah. Dari 250 perusahaan terbesar di dunia, ada 64% yang mempublikasikan laporan CSR-nya di tahun 2005, baik laporan tahunan, atau dalam laporan sustainable report yang terpisah (Porter & Kramer, 2006). Meskipun begitu, kedua peneliti ini mencatat bahwa umumnya laporan-laporan tersebut tidak menawarkan sesuatu yang seharusnya penting, jarang terlihat. Laporan-laporan itu lebih banyak memaparkan apa yang sudah dibuat, misalnya pengurangan dalam polusi, limbah, emisi karbon, hingga ke penggunaan energy. Begitu pula lebih banyak tergambarkan upaya filantropi dalam bentuk jumlah uang atau jumlah jam sukarela, bukan dalam bentuk impak strateginnya. Porter & Kramer (2006) menyarankan bahwa unsure value creationnya harus terlihat jelas.
Pandangan Porter & Kramer ini, didukung oleh riset Husted dan Allen (2007) pada perusahan-perusahaan yang besar di Spanyol. Meskipun para CEO menyadari bahwa CSR bisa menjadi sumber inovasi yang baik, keunggulan daya saing (competitive advantage) dan penciptaan nilai (value creation), mereka mengaku bahwa mereka tidak tahu apakah upaya CSR mereka menguntungkan. Di sisi lain, Husted dan Allen (2007) menemukan penciptaan nilai yang terjadi. Ia melihat dari skema Visibility, Appropribability, dan Voluntarism. Visibility memang sangat jelas dan langsung dirasakan. Para stakeholder yang dianggap mengamati aktivitas CSR akan memberikan penghargaan atas berbagai partisipasi perusahaan. Sedangkan, Appropribability dianggap memberikan efek pada penciptaan nilai yang signifikan karena pada dasarnya perusahaan bisa merancang proyek atau program yang berbeda dibandingkan perusahaan lain. Ini memberi peluang untuk untuk memberikan manfaat kepada perusahaan. Untuk elemen voluntarism mendapatkan “economically rational” sumber daya saing keunggulan-berdimensi strategic, karena perusahaan menciptakan sumber dan kapabilitas yang unik yang dinilai oleh pelanggan sulit ditiru. Hasil penelitian Husted dan Allen yang lain juga sejalan dengan hipotesis Porter, bahwa penciptaan nilai yang terjadi dikaitkan dengan kendala seperti tuntutan legal, praktik industry, dan insentif fiscal. Justru proyek CSR semakin memberikan penciptaan nilai industry, dan insentif fiscal. Justru proyek CSR semakin memberikan penciptaan nilai bila proyek tersebut dianggap muncul dari hasil kendala peraturan industry dan fiscal.
2.3 Sinergi CSR Dalam Perusahaan Multibisnis
Mengaitkan CSR dengan value creating di perusahaan multibisnis juga dapat dilihat dari sudut sinergi. Proporsi yang lazim dalam literature strategic manajemen tentang keberadaan perusahaan multibisnis adalah bahwa nilai keseluruhan perusahaan diharapkan melebihi nilai masing-masing bisnis dijumlahkan, karena sinergi yang tercipta. Mereka misalnya bisa memanfaatkan economics of scope atau biaya produksi yang sama bisa saling dibagi sehingga kurang dibandingkan bila mereka berproduksi sendiri-sendiri (lihat misalnya Teece, 1982).
Berbicara tentang sinergi, basis konsep resource based view (RBV) sering dirujuk berdasarkan RBV, dirasakan ada keterkaitan sumber daya (resource relatedness of business), yakni yang dirumuskan sebagai presence of similar activities and shared resources across business units of the firm (David and Thomas,, 1993). Jadi, antarunit bisa menciptakan sinergi lintas bisnis berbasiskan sumber daya (cross-business resources-based synergies), yang nantinya bisa meningkatkan nilai perusahaan secara keseluruhan. Selain soal RBV, konsep lain yang juga sering dirujuk adalah tentang economics theory of complementaries. Dalam konsep ini, ada serangkaian sumber daya yang merupakan pelengkap ketika kita memanfaatkannya, manfaat yang kita dapatkan lebih besar disbanding menggunakan sumber daya yang lain (Harrison et al, 2001).
Dari dua konsep diatas, Tanriverdi dan Venkataraman (2005) mencoba menawarkan konsep sinergi pengetahuan lintas bisnis (cross-business knowledge synergies). Kedua peneliti ini merumuskan knowledge resources across sebagai ‘the extent to which a multibisnis firm uses common knowledge resources across its business units’. Penggunaan pengetahuan ini diharapkan dapat menciptakan sinergi atau economics of scope dalam bentuk tambahan pengurangan biaya pada tiap-tiap perusahaan. Dari dua kategori pengetahuan yang kita ketahui, yakni tasit dan eksplisit, focus kedua peneliti ini ada pengetahuan eksplisit (explicit knowledge). Ini karena pengetahuan tasit (tacit knowledge) dianggap lebih sulit dan tidak murah untuk ditransfer pada lintas bisnis. Sebaliknya, pengetahuan eksplisit, yang ada pada teknologi dan proses organisasi, dapat digunakan pada banyak bisnis unit secara simultan dan menciptakan economics of scope yang significant.
Lebih jauh, Tanriverdi dan Venkatraman menelusuri konstruk relatedness, menyimpulkan ada tiga konsep pokok yang utama dalam membicarakan sinergi. Ketiga konsep itu adalah keterkaitan pengetahuan produk (product knowledge relatedness), keterkaitan pelanggan (costumer relatedness), dan pengetahuan manajerial (Managerial knowledge).
Pertama, elemen keterkaitan produk, keterkaitan bisa dibangun melalui pertukaran dengan pihak eksternal di pasar dan dengan pihak internal. Dalam banyak literatur sering disebutkan contoh-contoh perusahaan teknologi yang mendapatkan informasi dari para pemasok, konsumen, dan distributornya. Hal-hal yang diperoleh ini bisa seperti ini bisa saling berbagi tentang desain, subsistem, dan komponen yang memungkinkan pengembangan rangkaian produk turunan (Inkpen AC, Dinur A, 1998). Kedua, aspek costumer relatedness, bisa menjadi sumber sinergi. Kebutuhannya, preferensi, dan perilaku pembeliannya atas value yang ditawarkan satu bisnis beragam membuat sinergi bisa tercipta. Melalui interaksi perusahaan dengan pelanggan, baik secara langsung maupun tidak langsung. (Woodruff, 1977). Perusahaan lintas bisnis bisa saling bertukar informasi penting tentang berbagai kondisi pelanggan ini untuk kepentingan perusahaan. Semakin bervariasi bisnisnya, semakin terbuka peluang untuk mengeksplor berbagai peluang (Ramaswamy, 1997).
Ketiga, elemen managerial knowledge bisa terdiri atas wawasan manajerial, pengalaman, dan praktik terbaik dari satu perusahaan. Perusahaan yang ada dalam lingkungan lintas bisnis, memiliki peluang memperoleh skala pembelajaran dalam pengembangan dan eksploitasi pengetahuan manajerialnya. Seperti kita tahu, setiap bisnis bisa memiliki tantangan manajerial yang relative sama terlepas dari tipe produk dan pasarnya. Tanriverdi dan Venkatraman (2005) menyebutkan bahwa manajemen resiko, investasi atau urusan aliansi dengan perusahaan lain adalah isu pokok untuk manajerial knowledge relatedness. Ini karena ketiga hal ini dianggap bisa diaplikasikan untuk setiap konteks bisnis .Ketiga aspek ini, bila saling berkomplementer, maka akan terciptalah keunikan nilai dari perusahaan. Dan secara sistematik, hal ini akan sulit ditiru oleh pesaing (Harrison et al, 2001, Porter 1996).
Dengan demikian bila kita ingin melihat aktivitas CSR memberikan dampak terhadap strategi perusahaan, kerangka kerja yang ditawarkan Porter dan Kramer(2006) dalam membuat prioritas atas masalah sosial, juga bisa diterapkan. Seperti diketahui, Porter dan Kramer punya tiga skema dalam membuat prioritas atas isu sosial, yakni : 1) isu sosial generic (Generic Social issue), 2) dampak sosial dari rantai nilai (value chain social impact), dan 3) dimensi sosial dari konteks persaingan (social dimensions of competitive context).
Memprioritaskan isu sosial (Porter , Kramer 2006)
Generic Social Issues | Value Chain Social Impacts | Social Dimensions of Competitive Context |
Isu sosial yang tidak terpengaruhi oleh operasi perusahaan dan juga tidak berpengaruh pada daya saing jangka panjang | Isu sosial yang terpengaruh secara signifikan oleh aktivitas perusahaan dalam keseharian operasi perusahaan | Isu sosial dalam lingkungan eksternal secara signifikan memengaruhi pendorong daya saing perusahaan tempat ia beroperasi |
Dengan perumusan yang lebih rinci atas isu sosial ini, setiap unit bisnis memiliki keleluasaan merancang program, sambil tetap mengikuti panduan dan BUN pusat. Alokasi anggaran, pelaksanaan, dan skedul komunikasi yang akan dibuat juga bisa dirancang lebih terarah. Dengan cara seperti inilah BUN bisa berperan membuat impak sosial yang signifikan, tapi sekaligus juga mendatangkan manfaat yang besar pada tiap-tiap bisnis. Dalam bahasa Porter & Kramer, BUN dengan berbagai programnya akan migrasi dari “Responsive CSR” ke “Strategic CSR”. Dengan ini, efek yang sinergi dari management practice memang bisa diharapkan tercipta dengan pengintegrasian di BUN. Apalagi bila perumusan criteria tingkat/level atau kategori penerapan CSR sudah jelas. Ini bisa menjadi tolak ukur dan menjadi pemicu semangat perusahaan untuk mengejar kinerja tertentu dalam CSR-nya.
Dibawah ini akan dipaparkan sebuah kasus yang menggambarkan bagaimana sebuah kelompok usaha yang memiliki beberapa bisnis sekaligus. Kasus ini menggambarkan bahwa strategi CSR pun selayaknya harus dilakukan secara terinteratif, agar prinsip-prinsip sinergi yang biasanya diterapkan pada saat menerapkan strategi bisnis lain, juga didapatkan manfaatnya saat menjalankan startegi CSR.
Kasus :
Keluarga besar Bakrie (Kelompok Usaha Bakrie-KUB dan Yayasan/Keluarga) dikenal aktif melakukan tanggung jawab sosial. Pada tahun 2007 dan 2008, Keluarga Besar Bakrie sudah mengeluarkan masing-masing ± Rp 119 miliar, dan ± Rp 158 miliar (Bakrie untuk Negeri, 2008, 2009). Angka ini bisa bertambah bila disertakan kepedulian sosial keluarga Bakrie pada kasus Lumpur Sidoarjo yang pada awal 2009 tercatat mengeluarkan tidak kurang dari Rp4,8 triliun (Mitra Bakrie, 2009). Awal pendirian kelompok usaha ini, Achmad Bakrie, pendiri kelompok usaha ini terkenal dengan sikap sosialnya (Pohan, et. al., 1992). Tedapat satu filsafat penting dari Achamad Bakrie yang dari dulu hingga sekarang masih menjadi landasan aktivitas social perusahaan, yakni: “Setiap rupiah yang dihasilkan Bakrie, harus dapat bermanfaat bagi orang banyak”. (H. Achmad Bakrie).
Aburizal Bakrie merupakan pemimpin generasi kedua dari usaha Bakrie, dalam memimpin KUB juga menganut pandangan yang serupa. Menurutnya, keberhasilan manajemen suatu organisasidi bisnis era modern ini tidak sekedar ditandai oleh factor pertumbuhan yang tinggi, tapi juga oleh terpenuhnya hak-hak social pekerja dan masyarakat. Begitu juga dengan tingkat kepedulian organisasi itu terhadap konservasi lingkungan (BUN). Maka dari itu, tak heran sejak perusahaan pertama mulai berdiri, dan kemudian berkembang dengan perusahaan-perusahaan selanjutnya., kegiatan bisnisnya selalu memperhatikan tanggung jawab social, hubungan kemasyarakatan, pengembangan masyarakat, dan berbagai program lainnya. Dalam segala bentuknya, baik yang bersifat sumbangan, filantropi, maupun yang dengan program yang menyeluruh dan berjangka panjang. Dalam beberapa kesempatan, Aburizal Bakrie berharap KUB dapat menjadi driving force praktek CSR di Indonesia dan menyelaraskan aktivitasnya dengan program pemerintah. Para pemimpin puncak KUB memang diminta untuk meibatkan perusahaan pada berbagai aspek kehidupan, mulai dari bidang pendidikan, ekonomi, social, lingkungan, kesehatan, keagamaan, keolahragaan, dan infrastruktur masyarakat. Perusahaan yang sering mendapatkan berbagai pengharagaan terkait dengan aktivitas CSR adalah Bakrie Brothes, BakrieLand Development, Arutmin, Kaltim Prima Coal, Bakrie Sumatera Plantations, Kondur Petroleum, EMP Kangean Ltd.
Dalam perkembangannya, diketahui bahwa selain perusahaan yang menjalankan aktivitas tanggung jawab social perusahaan, para anggota keluarga, sebagai pemilik saham sebagian besar perusahaan, juga melakukan aktivitas social. Aktivitas social dalam keluarga ini beragam dan jumlahnya tidak sedikit. Oleh sebab itu, perkembangannya kini digunakan istilah Keluarga Besar Bakrie, untuk menyambut KUB, dan anggota keluarga Bakrie. Kegiatan yang terkait dengan social kemasyarakatan yang dilakuakn oleh Keluarga Besar Bakrie ada dua yaitu, tanggung jawab social prusahaan (CSR) oleh KUB dan Aktivitas Sosial dari Kleluarg Bakrie. Aktivitas-aktivitas Keluarga Bakrie dikelola oleh yayasan-yayasan yang juga menaungi aktivitas social seperti charity, sumbangan, sponsorship, dan sebagainya.
Pada tahun 2004, diidentifikasi aktivitas social Keluarga Besar Bakrie sudah semakin luas, melibatkan anggaran yang tidak kecil dan komplektasi yang semakin tinggi. Tahun 2006, gagasan untuk mengoordinasiakan dua kegiatan social yang besar ini mulai muncul. Terutama sejak para pejabat yang terkait dengan CSR/Comdey di unit usaha KUB, di motori oleh pengelola Yayasan Bina Mitra Bakrie (YBMB)., membentuk sebuah forum yang disebut Forum CSR/Comdey KUB. Dari pertemuan inilah mulai dibahas tentang kemungkinan menyelaraskan dan, pengoordinasian, dan penyinergian dua kegiatan tersebut. Pertemuan ini merumusakan perlunya dibentuk satu wadah yang menjadi payung bagi keseluruhan aktivitas social Keluarga Besar Bakrie. Wadah ini disebut dengan Bakrie untuk Negeri, yang menjadi penggeraknya saat ini adalah anggota Forum CSR/Comdey, dimana YBMB menjadi sekretariatnya. Dengan diresmikannya BUN, diharapkan komitmen Keluaraga Besar Bkrie dalam menjalankan aktivitas dan usahanya, serta memberikan kontribusi konkret bagi pembangunan kemanusiaan lebih efektif .
PENDIRIAN FOUM CSR& COMUNITY DEVELOPMEN KUB
Forum CSR / Comdev KUB , didirikan pada tanggal 15 Maret 2006. Para pesertanya, yang merupakan pejabat utama CSR/Comdev KUB , merasakan pentingnya perkoordinasi dan bekerja sama saling menguntungkan. Yang paling menyolok adalah adanya upaya berbagai pengalaman pemberdayaan mayarakat , merancang dan menyiapkan program unggulan,melakukan perencanaan pembiayaan , sampai kerja sama dalam tahap implementasi di level masyarakat. Jadi forum ini berfungsi menjadi wadah untuk saling berbagai informasi , komunikasi pengalaman (experince), pengetahuan (knowledge), kasus-kasus terbaik (best-practice) konsultasi, koordinasi, serta monitoring dan evaluasi antar pelaku CSR-Community Development di KUB. Hal ini penting karena KUB sangat beragam dan ukurannya berbeda.
Bidang bisnisnya yang beragam juga harus menjadi catatan sendiri. Kita bisa menggolongkannya sebagai bisnis yang sangat sensitif dengan lingkungan sekitar dan masyarakat, seperti pertambangan batubara atau pertambangan minyak dan gas. Kemudian , ada yang sensitivitasnya termasuk sedang seperti misalnya manufaktur dan properti. Sementara itu, beberapa bidang yang lain seperti telekomunikasi bisa dikatakan tidak begitu sensitif. Hal ini membuat kesiapan, cara memandang manajemen , praktik implementasi program CSR –nya berbeda-beda dari satu perusahaan ke perusahaan yang lainnya.
Secara kebetulan , pada februari 2006, anggota keluarga sudah membentuk yayasan Bakrie Untuk Negeri (BUN) ,untuk mewadahi beberapa kegiatan sosial keluarga Bkrie. Para peserta forum CSR/ Comdev dan anggota keluarga yang juga manajemen puncak di beberapa perusahaan KUB merasa bahwa yayasan ini sesuai untuk menaungi seluruh aktivitas CSR/keluarga (yayasan) yang ada dalam Keluarga Besar Bakrie.
Forum CSR/Comdev sendiri terus merumuskan berbagai kebijakan dan pedoman, hingga mengahasilkan pedoman umum, yang diharapkan memberikan kepahaman dalam memandang masyarakat dan agar kontribusi sosial KUB lebih nyata dalam pemberdayaan komunitas. Berisikan 9 Bab dan 16 pasal, pedoman umum yang dihasilakan oleh forum daoat dikatakan menjadi landasan pemikiran atas peran BUN visi dan misi , serta tujuanny. Pada pedoman ini diatur tentang pertemuan reguler, yakni 6bulan sekali, dan forum utama yang akan dilakukan di akhir tahun. Pedoman umum yang mncul pada forum CSR/Comdev, kemudian mengahasilkan suatu dokumen yang disebut Pedoman Umum Pelaksanaan Corporate Sosial Responsibility Kelompok Usaha Bakrie (Basic Guideline For CSR Implementation of KUB). Pedoman ini ditandatangani oleh perumusnya pada bulan Mei 2007.
Pembicaraan tentang BUN perlu digunakan sebagai payung kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan dan aktivitas sosial keluarga Bakrie, terus diperdalam. Tanggal 17 agustus HUT RI ke-65, Bakrie Untuk Negeri sebagai Gerakan diluncurkan secara lebih luas. Model peran BUN bisa dilihat pada kasus : 1.
Beberapa pemikiran yang mendorong dilakukannya pengelolaan CSR dan aktivitas sosial melalui BUN dapat dilihat pada table berikut :
Aspek dari CSR | Poin penting | Sebelum adanya BUN | Setelah adanya BUN |
System koordinasi wadah CSR | Brand name | Menggunakan nama masing-masing holding atau unit usaha | Wadah Bakrie untuk Negeri merupakan Brand Name CSR bagi unit-unit usaha di kelompokk usaha Bakrie |
System kebijakan | Prinsip dasar, komitmen, dan tanggung jawab | Masing-masing perusahaan melakukan interpretasi sendiri atas kebijakan CSR | Adanya pemahaman bersama atas nilai dan pelaksanaan |
Program | Community development | Beberapa program CSR dilakukan secara sporadis dan lebih bersifat charity | Diarahkan pada pengembangankapasitas masyarakat menuju kemandirian |
Bidang/sector | Partisipasi | Belum semua perusahaan melibatkan partisipasi stokeholders dalam penentuan program CSR | Partisipasi stokeholders perusahaan menjadi kata kunci dalam implementasi CSR termasuk dalam penentuan bidang CSR |
Budgeting | Beban dan investasi sosial | Masih ada unit usaha yang memandang bahwa CSR merupakan biaya eksternal | Tidak dapat dipisahkan dengan kegiatan bisnis dan merupakan suatu investasi |
Pengelolaan | System manajemen | Sebagian besar telah dikelola secara baik, yang ditunjukkan dengan adanya unit khusus yang mengelola kegiatan CSR | Adanya unit khusus atau fungsi manajemen yang secara khusus atau fungsi manajemen yang secara khusus menangani CSR dengan SDM yang memadai |
Evaluasi | Stokeholders feedback | Belum semua unit usaha melakukan evaluasi kegiatan CSR dengan memanfaatkan umpan balik stokeholders | Partisipasi stokeholders merupakan key success factor pelaksanaan CSR |
System pelaporan | Transparasi dan akuntabilitas | Belum semua unit usaha menyusun laporan CSR dengan system pelaporan yang baik | Prinsip good corporate governance diterapkan dalam system pelaporan CSR |
Dengan pengelolaan yang lebih baik, BUN diharapkan bukan saja sekedar mewadahi, mengoordinasi, dan memfasilitasi aktivitas CSR KUB dan aktivitas keluarga, tetapi lebih jauh dari itu menjadi motor penggerak CSR di Indonesia. Untuk mengkonkretkan niat ini, maka task-force perumus format BUN mengusulkan hal-hal mendasar dari BUN, seperti dasar organisasi, fungsi-fungsi yang harus ada, struktur dan formasi awalnya, serta program dan anggaran yang diperlukan. Sebagian besar materi dalam usulan ini menggunakan materi yang ada pada Pedoman Umum Pelaksanaan CSR KUB, dan pada dasarnya merupakan dokumen rencana stretgik bagi BUN.
2.4 Strategi Dalam Melakukan Tanggung Jawab Sosial
Ada beberapa strategi yang dapat dilakukan oleh perusahaan yang dikemukakan oleh Kreitner (1992) dalam melakukan tanggung jawab sosial di antaranya adalah:
1. Strategi Reaktif (Reactive Social Responsibility Strategy)
Kegiatan bisnis yang melakukan strategi reaktif dalam tanggung jawab sosial cenderung menolak atau menghindarkan diri dari tanggung jawab sosial. Contohnya, perusahaan tembakau di masa lalu cenderung untuk menghindarkan diri dari isu yang menghubungkan antara konsumsi rokok dengan peluang terjadinya penyakit kanker. Akan tetapi, dikarenakan adanya peraturan pemerintah untuk mencantumkan bahaya rokok dalam setiap iklan, maka hal tersbut dilakukan oleh perusahaan rokok.
2. Strategi Defensif (Defensive Social Responsibility Strategy)
Strategi defensive dalam tanggung jawab sosial yang dilakukan oleh perusahaan terkait dengan penggunaan pendekatan legal atau jalur hokum untuk menghindarkan diri atau menolak tanggung jawab sosial. Perusahaan yang menghindarkan diri dari tanggung jawab penanganan limbah bisa saja berargumen melalui pengacara yang disewanya untuk mempertahankan diri dari tuntutan hokum dengan berargumen bahwa tidak hanya perusahaannya saja yang membuang limbah kesungai ketika dilokasi perusahaan tersebut beroperasi, terdapat juga perusahaan lain yang beroperasi.
3. Strategi Akomodatif (Accomodative Social Responsibility Strategy)
Beberapa perusahaan memberikan tanggung jawab sosial berupa pelayanan kesehatan, kebersihan, dan lain sebagainya, bukan dikarenakan perusahaan menyadari perlunya tanggung jawab sosial, namun dikarenakan adanya tuntutan dari masyarakat dan lingkungan sekitar akan hal tersebut. Contohnya, perusahaan-perusahaan besar pada orde baru dituntut untuk memberikan pinjaman kredit lunak kepada para pengusaha kecil, bukan disebabkan karena adanya kesadaran perusahaan, akan tetapi sebagai langkah akomodatif yang diambil setelah pemerintah menuntut para korporat untuk lebih memperhatikan para pengusaha kecil.
4. Strategi Proaktif (Proaktive Social Responsibility Strategy)
Kegiatan bisnis yang melakukan strategi proaktif dalam tanggung jawab sosial memandang bahwa tanggung jawab sosial adalah bagian dari tanggung jawab untuk memuaskan stakeholders. Jika Stakeholders terpuaskan, maka citra posistif terhadap perusahaan akan terbangun. Dalam jangka panjang perusahaan akan diterima oleh masyarakat dan perusahaan tidak akan kawatir akan kehilangan pelanggan, justru akan berpotensi untuk menambah jumlah pelanggan akibat citra positif yang disandangnya. Langkah yang dapat diambil oleh perusahaan adalah dengan mengambil inisiatif dalam tanggung jawab sosial, misalnya dengan membuat kegiatan khusus penanganan limbah, keterlibatan dalam setiap kegiatan sosial dilingkungan masyarakat, atau dengan memberikan pelatihan-pelatihan terhadap masyarakat dilingkungan sekitar perusahaan.
2.5 Manfaat Tanggung Jawab Sosial
Tanggung jawab sosial sebagai konsekuensi logis keberadaan perusahaan disebuah lingkungan masyarakat mendorong perusahaan untuk lebih proaktif dalam mengambil inisiatif dalam hal tanggung jawab sosial. Pada dasarnya tanggung jawab sosial akan memberikan manfaat dalam jangka panjang bagi semua pihak yang dalam hali ini:
Manfaat bagi Perusahaan
Perusahaan (organisasi bisnis) memang harus melangsungkan kegiatan bisnis yang menguntungkan agar dapat terus menjaga kelangsungan usahanya. Dalam bahasa yang sederhana, perusahaan haruslah mempunyai pendapatan yang lebih besar dari biaya operasionalnya. Untuk dapat menarik investasi, perusahaan haruslah dapat menghasilkan tingkat pengembalian terhadap modal pemegang saham (return on shareholder’s equity) yang lebih baik dibandingkan dengan jika investor menempatkan uangnya sebagai deposito di bank. Dengan kata lain, investor harus bisa memperoleh insentif keuangan untuk menghadapi resiko usaha yang ada; jika tidak, mereka akan lebih suka menempatkan uangnya di sebuah bank atau membeli surat berharga berisko rendah yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Jika sebuah perusahaan dapat memiliki sejarah prestasi keuangan yang baik, maka hal ini akan merupakan indikator yang akan dilihat oleh para pemodal. Pemodal akan memberikan kepercayaan kepada perusahaan-perusahaan yang memiliki sejarah keuangan yang menguntungkan. Kepercayaan semacam ini akan dapat memberikan kemudahan dalam mendapatkan modal baru, dibandingkan dengan melakukan peminjaman di bank atau dengan menerbitkan saham di pasar modal. Jika perusahaan tidak memiliki riwayat usaha yang menguntungkan di masa lalu dan tidak mampu menunjukkan potensi keuntungan di masa depan, maka perusahaan tersebut akan mengalami kesulitan dalam mendapatkan modal. Hal ini akan secara signifikan melemahkan posisi perusahaan untuk bertahan secara kompetitif dalam jangka panjang.
Bagi perusahaan yang sahamnya diperdagangkan kepada publik, keuntungan perusahaan biasanya tercermin pada harga saham. Indikasi harga saham ini tidak sekedar memberikan benefit kepada pemegang saham dalam jangka pendek, tetapi juga memungkinkan pemegang saham membeli saham perusahaan lainnya dengan dari keuntungan saham yang dimilikinya. lebih lanjut, harga saham yang tinggi akan merupakan “pertahanan” yang kuat terhadap kemungkinan hostile-takeover, atau juga dapat merupakan alat negosiasi yang kuat. Pada perusahaan publik maupun non publik, retained earning (laba ditahan) merupakan sumber dana yang penting untuk investasi baru.
Singkat kata, profitabilitas tidak sekedar merupakan “hasil”, tetapi juga dapat merupakan “sumber daya” dari kekuatan kompetitif perusahaan. Profitabilitas membuat perusahaan memiliki kemampuan untuk memperbaiki posisi kompetitifnya untuk mencapai tujuan dari keberadaan perusahaan.
Manfaat yang jelas bagi perusahaan jika perusahaan memberikan tanggung jawab perusahaan adalah munculnya citra positif dari masyarakat akan kehadiran perusahaan dilingkungannya. Kegiatan perusahaan dalam jangka panjang akan dianggap sebagai kontribusi yang posistif bagi masyarakat sekaligus membantu perekonomian masyarakat. Akibatnya, perusahaan justru akan memperoleh tanggapan yang posistif setiap kali akan menawrkan sesuatu kepada masyarakat. Masyaakat juga akan menganggap perusahaan tersebut membawa kebaikan bagi masyarakat.
Manfaat bagi Masyarakat
Manfaat bagi masyarakat dari tanggung jawab sosial yang dilakukan oleh perusahaan adalah sangatlah jelas. Masyarakat juga akan mendapatkan pendangan baru mengenai hubungan perusahaan dan masyarakat yang barang kali selama ini hanya sekedar dipahami sebagai hubungan produsen konsumen, atau hubungan antara hubungan penjual dan pembeli saja. Hubungan masyarakat dan dunia bisnis tidak lagi dipaahmi sebagai hubungan antara pihak yang mengeksploitasi dan pihak yang tereksploitasi, tatapi hubungan kemitraan dalam membangun masyarakat lingkungan yang lebih baik. Tidak hanya disektor perekonomia, tetapi juga dalam sector sosial, pembangunan dan lain-lain.
Manfaat bagi Pemerintah
Manfaat bagi pemerintah dengan adanya tanggung jawab sosial dari pemerintah juga sangatlah jelas. Pemerintah pada akhirnya tidak hanya berfungsi sebagai wasit yang menetapkan aturan main dalam hubungan masyarakat dengan dunia bisnis, dan memberikan sanksi bagi pihak yang melanggarnya. Pemerintah sebagai pihak yang mendapat legitimasi untuk mengubah tatanan masyarakat kea rah yang lebih baik akan mendapatkan patner dalam mewujudkan tatanan masyarakat tersebut. Sebagian tugas pemerintah dapat dijalankan oleh anggota masyarakat, dalam hal ini perusahaan atau organisasi bisnis.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Kebanyakan pelaku usaha bersepakat bahwa baik profitabilitas maupun tanggungjawab sosial dua-duanya adalah tujuan yang hendak dicapai perusahaan. Sekalipun sangat disadari bahwa kedua hal ini sebenarnya saling bertentangan. Para pemegang saham tentunya berharap perusahaan dapat meningkatkan profitabilitas, namun hal ini tentunya akan menjadi konflik kepentingan bagi stakeholder lainnya yang menginginkan optimalisasi keberadaan perusahaan, terutama yang terkait dengan tanggungjawab sosialnya. Dengan kata lain, selalu terdapat pertentangan antara keuntungan ekonomi dan tanggungjawab sosial.namun semua bisa teratasi jikalau para CEO perusahaan bisa menerapka CSR dengan benar sehingga bisa memenuhi tanggung jawab sosial tanpa harus bertentangan dengan tujuan perusahaan untuk mendapatkan profit yang diinginkan. Saat ini pemerintah telah membuat perundang-undangan yang telah mengatur tentang CSR ini sehingga perusahaan tidak bisa seenaknya mengindahkan tanggung jawab sosialnya.
3.2 Saran
Perusahaan seharusnya punya satu konsep tujuan yang menjadi satu antara pencapaian profit dan tanggung jawab sosial keduanya harus berjalan berdampingan jangan sampai ada salah satu yang ditinggalkan karena hal itu sangat penting bagi orientasi kedepan bagi perusahaan. Dimasa sekarang perusahaan harus membuang jauh pemikiran yang hanya memikirkan profit saja karena hal ini sangat bertentangan dengan konsep awal yang telah disapakati dalam perumusan CSR yang telah dikonferensikan dan saat ini telah ada perundang-undangan yang telah mengatur tentang hal itu.
DAFTAR PUSTAKA
Amir, M. Taufik. (2011). Manajemen Strategik“Konsep dan Aplikasi”. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Kotler, Philips. (2002). Manajemen Pemasaran, jilid 1. Jakarta : PT Prenhallindo
Sule Erni Tisnawati & Saefullah Kurniawan. 2008. “Pengantar Manajemen”. Jakarta. Prenada Media Group
0 Response to "makalah tanggung jawab sosial"
Post a Comment