AL-MUHKAM DAN AL-MUTASYABIH


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Al-Qur'an al-Karim adalah kitab standar kehidupan umat manusia dari bangsa dan penganut faham apa pun. Al-Qur'an adalah standar (rujukan) umat manusia yang hidup di segala zaman dan ruang. Dia tetap up to date walaupun manusia berlomba-lomba menciptakan dan meningkatkan kebudayaan dan peradaban mereka tidak akan dapat mengejar kemajuan al-Qur'an.

1.2  Tujuan
Adapun tujuan penulis membuat makalah ini:
1.      Sebagai acuan dalam proses belajar mengajar.
2.      Untuk memenuhi pembuatan tugas mata kuliah Studi Qur’an.
3.      Sebagai penambahan wawasan bagi penulis dan pembaca.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Muhkam dan Mutasyabih Secara Umum
Pada awalnya pembahasan muhkam dan mutasyabih, adalah cabang dari ilmu kalam. Karena al-Qur’an merupakan teks suci yang cukup sulit terdeteksi maknanya, maka ulama ahli memasukkan pembahasan muhkam dan mutasyabih tersebut sebagai kajian ilmu tafsir. Seperti dalam ilmu fikih, ada qath’i dan ada zhanni. Yang qath’i adalah muhkam, dan yang zhanni adalah mutasyabih.
Muhkam diambil dari kata ihkâm, artinya kekokohan, kesempurnaan.[1]Bisa bermakna, menolak dari kerusakan.[2]Muhkam adalah ayat-ayat yang (dalâlah) maksud petunjuknya jelas dan tegas, sehingga tidak menimbulkan kerancuan dan kekeliruan pemahaman. Al-hukm berarti memutuskan perkara antara dua hal. Maka, hakim adalah orang yang mencegah dan memisahkan antara dua pihak yang bersengketa. Ihkam al-kalam berarti memperkuat perkataan dengan memisahkan berita yang benar dari yang salah.
Jadi, kalam muhkam adalah perkataan yang seperti itu sifatnya.[3]Ayat-ayat seperti ini wajib diimani dan diamalkan isinya.
Karena pengertian itu, Allah swt menyifati al-Qur'an bahwa seluruhnya adalah Muhkam. Sebagaimana firman Allah: "inilah sebuah kitab yang ayat-ayatnya diperkuat dan dijelaskan secara rinci yang diturunkan dari sisi Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. (Qs. Hud: 1). Maksudnya, bahwa kata-katanya fasih, kuat, tiada tandingan, sekaligus dapat membedakan antara kebenaran dan kebathilan.
Sedangkan mutasyabih diambil dari kata tasyâbaha – yatasyâbahu, artinya keserupaan dan kesamaan, terkadang menimbulkan kesamaran antara dua hal. Tashâbaha ar-rajulâni, dua orang saling menyerupai. Dalam istilah fikih, seseorang menemukan kata syubhat, artinya sesuatu barang atau perkara yang belum jelas kehalalannya dan keharamannya. Mutasyabih adalah ayat-ayat yang makna lahirnya bukanlah yang dimaksudkannya. Oleh karena itu makna hakikinya dicoba dijelaskan dengan penakwilan. Bagi seorang muslim yang keimanannya kokoh, wajib mengimani dan tidak wajib mengamalkannya. Dan tidak ada yang mengetahui takwil ayat-ayat mutasyabihât melainkan Allah swt.
Dengan pengertian itulah, Allah swt menyifati al-Qur'an bahwa seluruhnya adalah mutasyabihat sebagaimana didalam firman-Nya: ""Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik yaitu al-Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya)". (Qs. Az-Zumar: 23).
Seperti firman Allah swt: "dan mereka diberi yang serupa dengannya". (Qs. Al-Baqarah: 25). Ayat ini menerangkan sekaligus memberi kabar gembira bagi orang-orang yang beriman dan beramal shaleh berupa surga yang di dalamnya terdapat sungai-sungai yang mengalir dan terdapat pula buah-buahan yang serupa tapi tidak sama seperti buah-buahan yang terdapat di dunia.
Masing-masing muhkam dan mutasyabih dalam pengertian secara mutlak dan umum, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas tidak menjadikan kontradiksi ayat al-Qur'an yang satu dengan ayat-ayat yang lain.
Jadi, pernyataan bahwa "al-Qur'an itu semuanya muhkam, karena adalah dengan pengertian kuat, sastranya tinggi, yakni ayat-ayatnya serupa, saling membenarkan satu sama lain. Tidak ada kontradiksi di dalam al-Qur'an. Allah berfirman: "Apakah mereka tidak memahami al-Qur'an, dan seandainya al-Qur'an itu bukan dari sisi Allah, pasti mereka mendapati banyak pertentangan (satu sama lain) di dalamnya". (Qs. An-Nisa_: 82).

2.1 Pengertian Muhkam dan Mutasyabih Secara Khusus
Demikian juga Imam Syafi'i berkata sebagai berikut: Sesungguhnya ayat-ayat muhkam adalah ayat yang tidak mungkin takwilnya lebih dari satu, sedangkan ayat-ayat mutasyabih adalah ayat yang kemungkinan bermacam-macam takwil.[4]
Jika kita melihat pendapatnya Imam Syafi’i di atas, bahwa ayat mutasyabih adalah ayat yang kemungkinan bermacam-macam takwil, kita bisa mengambil contoh mengenai kata “nikah”[5] di dalam al-Qur’an, bisa berarti dua, al-wath_u (berkumpul dalam arti bersetubuh) atau al-‘aqdu (sebuah perjanjian).Atau bisa juga kita lihat dalam ayat: “wanita-wanita yang dithalak (diceraikan) hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru”.[6]“Quru” bisa berarti suci atau bisa berarti haidh. “Tiga quru”, sementara ulama - yang bermazhab Hanafi – dipahami dalam arti tiga kali haid. Sedangkan ulama yang bermazhab Maliki dan Syafi’i, tiga quru diartikan tiga kali suci (masa antara dua kali haid).[7]
Riwayat dari Qotadah: bahwa ayat-ayat muhkamat yaitu ayat yang wajib diamalkan. Yahya ibn Ya'mur berkomentar: bahwa ayat-ayat mutasyabihat adalah ayat yang mencakup hal-hal kewajiban seorang hamba, larangan, dan ayat-ayat muhkam juga sebagai pondasi kekuatan umat Islam.
Al-Ashfahani dalam Mufrodatnya berkomentar bahwa muhkam itu yang memberikan faedah pengertian kepada satu hukum. Hukum lebih umum dari pada hikmah, karena setiap hikmah yaitu hukum sedangkan hukum belum tentu menjadi buah hikmah. Sedangkan mutasyabihat al-Ashfahani berkomentar panjang dan membagi menjadi 3 macam: 1.) mutasyabihat dari segi lafazh, 2.) mutasyabihat dari segi makna, dan 3.) mutasyabihat dari segi keduanya. Dan mutasyabihat dari segi lafazh terbagi menjadi 2 macam. Tidak mudah sepertinya untuk menjelaskan pembagian dari segi lafazh, karena setelah itu terdapat bagiannya lagi. Mutasyabihat dari segi makna, al-Ashfahani memberikan contoh kepada sifat-sifat Allah, sifat-sifat hari kiamat yang tidak mungkin tergambarkan dalam benak kita. Sedangkan mutasyabihat dari segi lafazh dan makna terbagi menjadi 5 bagian: 1.) dilihat dari segi ukuran (kammiyyah) seperti umum dan khusus, contohnya: faqtuluu al-musyrikin – 9:5. 2.) dilihat dari segi cara (kaifiyyah) seperti wajib atau sunnah, contohnya: fankihuu maa thόba lakum – 4:3. 3.) mutasyabihat dari segi waktu seperti nâsikh dan mansûkh, contoh: ittaqullha haqqo tuqόtih – 3:102. 4.) mutasyabihat dilihat dari segi tempat dan duduk perkaranya yang memang ayat tersebut turun ditempat itu, seperti: wa laisa al-birro bi an tuu al-buyût min zhuhûrihâ – 2:189. Dan yang ke 5.) dari segi syarat-syarat yang menentuakan sah atau rusaknya amal seperti syaratnya shalat dan nikah.
Sedangkan menurut Jabir ibn Abdullah al-Anshari ra, dan ini sependapat juga oleh Shi'bi dan Sufyan ats-Tsauri: Sesungguhnya ayat-ayat muhkam adalah ayat yang diketahui dan dapat dipahami oleh para ulama akan makna dan tafsirnya, sedangkan ayat-ayat mutasyabih adalah ayat-ayat rahasia Allah, hanya Allah swt. yang mengetahui, seperti hari kiamat, kematian seseorang, dan lain-lain.
2.3 Pembagian Ayat-ayat Mutasyabih
Ayat-ayat mutasyabih dapat dikategorikan kepada tiga bagian yaitu pertama mutasyabih dari segi lapaznya; kedua, mutasyabih dari segi maknanya dan yang ketiga merupakan kombinasi dari keduanya yaitu mutasyabih dari segi lapaz dan maknanya sekaligus.
a.       Mutasyabih dari segi lapaz
Mutasyabih dari segi lapaz dapat pula dibagi dua macam:
1)      Yang dikembalikan kepada lapaz yang tunggal yang sulit pemaknaannya dan yang dilihat dari segi gandanya lapaz itu dalam pemakaiannya.
2)      Lapaz yang dikembalikan kepada bilangan susunan kalimatnya, yang seperti ini ada tiga macam:
a)      Mutasyabih karena ringkasan kalimat
b)      Mutasyabih karena luasnya kalimat.
c)      Mutasyabih karena susunan kalimatnya.

2.4 Mutasyabih Dari Segi Maknanya
Mutasyabih ini adalah menyangkut sifat-sifat Allah, sifat hari kiamat, bagaimana daan kapan terjadinya. Semua sifat yang demikian tidak dapt digambarkan secara konkret karena kejadiannya belum pernah dialami oleh siapapun.

2.5 Mutasyabih Dari Segi Lapaz dan Maknanya
Mutasyabih dari segi in, menurut As-Suyuthi, ada lima macam yaitu:
a.       Mutasyabih dari segi kadarnya, seperti lapaz yang umum dan khusus:
b.      Mutasyabih dari segi caranya, seperti perintah wajib dan sunnah:
c.       Mutasyabih dari segi waktu, seperti nasakh dan mansukh
d.      Mutasyabih dari segi tempat dan suasana dimana ayat itu diturunkan, misalnya
e.    Mutasyabih dari segi syarat-syarat, sehingga suatu amalan itu tergantung dengan ada atau tidaknya syarat yang dibutuhkan.
Misalnya ibadah shalat dan nikah tidak dapat dilaksanakan jika tidak cukup syaratnya.


BAB III
PENUTUP

3.1  Kesimpulan
Dari uraian ayat-ayat muhkam dan mutasyabih diatas, dapat dipahami bahwa ayat
1)      Muhkam adalah ayat yang sudah jelas maksudnya ketika kita membacanya, sedangkan ayat mutasyabih adalah ayat-ayat yang perlu ditakwilkan, dan setelah ditakwilkan barulah kita dapat memahami tentang maksud ayat-ayat itu.
2)      Ayat-ayat mutasyabih adalah merupakan salah satu kajian dalam ilmu Al-Quran.
3)      Kita dapat mengatakan bahwa semua ayat Al-Quran itu muhkam jiak maksud ayat muhkam disana adalah kuat dan kokoh, tetapi kita dapat pula mengatakan bahwa semua ayat itu adalah mutasyabih jika maksud mutasyabih itu adalah kesamaan ayat-ayatnya dalam hal balaghah dan I’jaznya.

3.2  Saran
Didalam penulisan makalah ini, kami menyadari belum sempurna dan lengkap menjelaskan bagaimana AL-MUHKAM dan AL-MUHTASYABIH, untuk itu diharapkan kepada setiap orang yang membaca makalah ini untuk mencari dari sumber-sumber/ media yang lain.


DAFTAR PUSTAKA


Sayyid Muhammad Baqir Hakim, ulum al-Qur'an hal. 165.
Idem.
Pengantar Studi Ilmu al-Qur'an, terjemahan dari Mabahits fi ulum al-Qur'an. Hal. 264.
Dalam Qs. 2:235 dan Qs. 2:237
Qs. 2:228
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah 1/456
Al-Quran dan Terjemahannya.1985.Jakarta: Departemen Agama RI., Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Quran
Ghazali, Abu Hamid Muhammad.1939. Ihya ‘Ulum Al-Din. Mesir: Mustofa Al-Babi al-Halabi.





[1] Sayyid Muhammad Baqir Hakim, ulum al-Qur'an hal. 165.

[2] Idem.
[3] Pengantar Studi Ilmu al-Qur'an, terjemahan dari Mabahits fi ulum al-Qur'an. Hal. 264.
[4] Idem.
[5] Dalam Qs. 2:235 dan Qs. 2:237
[6] Qs. 2:228
[7] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah 1/456

0 Response to "AL-MUHKAM DAN AL-MUTASYABIH"

Post a Comment