Perkembangan Psikososial Masa Remaja Awal


BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Untuk merumuskan sebuah definisi yang memadai tentang remaja awal tidaklah mudah, sebab kapan masa remaja awal berakhir dan kapan anak remaja tumbuh menjadi seorang dewasa tidak dapat ditetapkan secara pasti. Didalam makalah ini akan dijelaskan mengenai perkembangan psikososial pada anak usia remaja awal.
1.2. Tujuan
Adapun tujuan penulis membuat makalah ini:
1.      Sebagai acuan dalam proses belajar mengajar.
2.      Untuk memenuhi pembuatan tugas mata kuliah ilmu pengetahuan sosial.
3.      Sebagai penambahan wawasan bagi penulis dan pembaca.



BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Perkembangan Psikososial
Selama masa remaja terjadi perubahan-perubahan yang dramatis, baik dalam fisik maupun dalam kognitif. Perubahan-perubahan secara fisik maupun kognitif tersebut, ternyata berpengaruh terhadap perubahan dalam perkembangan psikososial mereka. Dalam uraian berikut, kita akan membahas beberapa aspek perkembangan psikososial yang penting selama masa remaja ini.

2.2  Perkembangan Individuasi dan Identitas
Masing-masing kita memilih ide tentang identitas diri sendiri. Meskipun demikian, untuk merumuskan sebuah definisi yang memadai tentang identitas itu tidaklah mudah. Hal ini adalah karena identitas masing-masing orang merupakan suatu hal yang kompleks, yang mencakup banyak kualitas dan dimensi yang berbeda-beda, yang lebih ditentukan oleh pengalaman subjektif dari pada pengalaman objektif, serta berkembang atas dasar eksplorasi sepanjang proses kehidupan (Dusek 1991).
Dalam psikologi, konsep identitas pada umumnya merujuk kepada suatu kesadaran akan suatu kesatuan dan kesinambungan pribadi, serta keyakinan yang relative stabil sepanjang rentang kehidupan, sekalipun terjadi berbagai perubahan. Menurut Erikson (dalam Cremers, 1989) seseorang yang sedang mencari identitas akan berusaha “menjadi seseorang” yang berarti berusaha mengalami diri sendiri sebagai “AKU” yang bersifat sentral, mandiri dan unik yang mempunyai suatu kesadaran akan kesatuan batinnya, sekaligus juga berarti menjadi “seseorang” yang diterima dan diakui oleh orang banyak. Orang yang sedang mencari identitas adalah orang yang ingin menentukan “siapakah atau apakah” yang diinginkan pada masa mendatang. Bila mereka telah memperoleh identitas tersebut maka ia akan menyadari cirri-ciri khas kepribadiannya, seperti kesukaan atau ketidaksukaannya, aspirasi, tujuan masa depan yang antisipasi, dan lain-lain.
Dalam konteks psikologi perkembangan, pembentukan identitas merupakan tugas utama dalam perkembangan kepribadian yang diharapkan tercapai pada akhir masa remaja. Meskipun ini telah mempunyai akar-akarnya pada masa anak-anak, namun pada masa remaja ia akan menerima dimensi baru karena berhadapan dengan perubahan-perubahan fisik, kognitif dan relasional pada masa remaja ini, kesadaran akan identitas menjadi kuat.
Menurut Josselson, 1980 (dalam Seifert dan Hoffnung, 1994), proses pencarian identitas proses dimana seorang remaja mengembangkan suatu identitas personal yang unik, yang berbeda dan terpisah dari orang lain disebut individuasi.

2.3  Teori Psikososial Erikson
Erikson adalah salah seorang teoritisi ternama dalam bidang perkembangan rentang hidup. Salah satu sumbangannya yang terbesar dalam psikologi perkembangan adalah teori psikososial tentang perkembangan. Dalam teori ini Erikson memnagi perkembangan manusia berdasarkan kualitas ego dalam delapan tahap perkembangan yaitu:
1.         Kepercayaan vs ketidakpercayaan. (sejak lahir - 1 tahun).
2.         Otonomi vs rasa malu-malu dan ragu-ragu (masa anak-anak, usia 1-3 tahun).
3.         Inisiatif vs rasa bersalah (pada masa prasekolah usia 4-5 tahun).
4.         Ketekunan vs rasa rendah diri (pada masa sekolah dasar usia 6-11 tahun).
5.         Identitas dan kebingungan peran (masa remaja usia 12-20 tahun).
6.         Keintiman vs isolasi (pada masa awal dewasa usia 20-24 tahun).
7.         Generativitas vs stagnasi (masa pertengahan dewasa usia 25-65).
8.         Integritas ego vs keputusan (pada masa akhir dewasa usia 65 sampai mati).

Masing-masing tahap terdiri dari tugas perkembangan yang khas yang mengharuskan individu menghadapi suatu krisis. Krisis ini bagi Erikson bukanlah suatu bencana, tetapi suatu titik balik peningkatan kerentanan dan peningkatan potensi, yang mempunyai kutub positif dan negatif. Semakin berhasil individu mengatasi krisis, maka akan semakin sehat perkembangannya (Santrock, 1995).
Selama masa ini, remaja mulai memiliki suatu perasaan tentang identitasnya sendiri, suatu perasaan bahwa ia adalah manusia yang unik. Ia mulai menyadari sifat-sifat yang melekat pada dirinya, seperti kesukaan dan ketidaksukaanya, tujuan-tujuan yang diinginkan tercapai dimasa mendatang, kekuatan hasrat untuk mengontrol kehidupannya sendiri. Dihadapannya terbentang banyak peran baru dan status orang dewasa.
Akan tetapi, karena peralihan yang sulit dari masa kanak-kanak ke masa dewasa disatu pihak, dan kepekaan terhadap perubahan sosial dan historis dipihak lain, maka selama tahap pembentukan identitas ini seorang remaja mungkin merasakan penderitaan paling dalam dibandingkan pada masa-masa lain akibat kekacauan peranan-peranan atau kekacauan identitas (identity confusion). Kondisi demikian menyebabkan remaja merasa terisolasi, hampa, cemas dan bimbang. Mereka sangat peka terhadap cara-cara orang lain memandang dirinya, akan menjadi mudah tersinggung dan merasa malu. Selama masa kekacauan identitas ini tingkah laku remaja tidak konsisten dan tidak dapat diprediksikan. Pada satu saat mungkin ia lebih tertutup terhadap siapa pun, karena takut ditolak, atau dikecewakan. Namun pada saat lain ia mungkin ingin jadi pengikut atau pecinta, dengan tidak mempedulikan konsekuensi-konsekuensi dari komitmennya (Hall & Lindzey, 1993).
Berdasarkan kondisi demikian, maka menurut Erikson, salah satu tugas perkembangan selama masa remaja adalah menyelesaikan krisis identitas, sehingga diharapkan terbentuk suatu identitas diri yang stabil pada akhir masa remaja. Remaja yang berhasil mencapai suatu identitas diri yang stabil, akan memperoleh suatu pandangan yang jelas tentang dirinya, menyadari kelebihan dan kekurangan dirinya, penuh percaya diri, tanggap terhadap berbagai situasi, mampu mengambil keputusan penting, mampu mengantisipasi tantangan masa depan, serta mengenal perannya dalam masyarakat (Erikson, 1989).
Disamping itu, Erikson juga menyebutkan bahwa selama masa-masa sulit yang dialami remaja, ternyata ia berusaha merumuskan dan mengembangkan nilai kesetiaan (komitmen), yaitu kemampuan untuk mempertahankan loyalitas yang didikrarkan dengan bebas meskipun terdapat kontradiksi-kontradiksi yang tak terelakkan diantara sistem-sistem nilai. Lebih jauh dijelaskannya bahwa komitmen merupakan fondasi yang menjadi landasan terbentuknya suatu perasaan identitas yang bersifat kontinu.

2.4  Pandangan Kontemporer
Pandangan-pandangan kontemporer tentang pembentukan identitas pada prinsipnya merupakan elaborasi dari teori psikososial Erikson. Diantaranya yang paling terkenal adalah pandangan-pandangan James Marcia. Seperti halnya Erikson, Marcia juga percaya bahwa pembentukan identitas merupakan tugas utama yang harus diselesaikan selama masa remaja.
Menurut Marcia, pembentukan identitas ini memerlukan adanya dua elemen penting, yaitu eksplorasi (krisis) dan komitmen. Istilah “eksplorasi” menunjuk pada suatu masa dimana seseorang berusaha menjelajahi berbagai alternatif pilihan, yang pada akhirnya bisa menetapkan satu alternatif tertentu dan memberikan perhatian yang besar terhadap keyakinan dan nilai-nilai yang diperlukan dalam pemilihan alternatif. Sedangkan istilah “komitmen” menunjuk pada usaha membuat keputusan mengenai pekerjaan atau ideologi, serta menentukan berbagai strategi untuk merealisasikan keputusan tersebut. Dengan perkataan lain, komitmen adalah keputusan untuk membuat alternatif-alternatif tentang elemen-elemen identitas dan secara langsung aktivitas diarahkan pada implikasi dari alternatif-alternatif tersebut. Seseorang dikatakan memiliki komitmen bila elemen identitasnya berfungsi mengarahkan tindakannya, dan selanjutnya tidak membuat perubahan berarti membuat perubahan yang berarti terhadap elemen identitas tersebut (Marcia, 1993).
Dalam suatu studi empirik tentang perkembangan identitas selama masa remaja yang didasarkan pada  ide-ide Erikson, Marcia menginterviu aspek-aspek penting identitas (pilihan pekerjaan, agama, dan sikap politik) dari siswa-siswa usia 8-22 tahun. Berdasarkan hasil penelitian ini, Marcia mencatat bahwa pembentukan identitas merupakan suatu proses yang sulit dan penuh tantangan. Dalam hal ini, Marcia (1980), berdasarkan mengklasifikasikan siswa dalam 4 kategori status identitas yang didasarkan pada dua pertimbangan: (1) Apakah mereka mengalami suatu krisis identitas atau tidak, dan (2) Pada tingkat mana mereka memiliki komitmen terhadap pemilihan pekerjaan, agama, serta nilai-nilai politik dan keyakinan. Keempat kategori itu adalah:
a.          Status 1: Identity diffusion (penyebaran identitas). Remaja belum mempunyai pengalaman dalam suatu krisis, tetapi telah menunjukkan sedikit perhatian atau komitmen terhadap pilihan pekerjaan, agama dan politik.
b.         Status 2: Identity Foreclosure (pencabutan identitas). Remaja dalam kategori ini telah membuat suatu komitmen tetapi belum mengalami suatu krisis. Sebelum waktunya, ia telah melibatkan dirinya pada aspek-aspek penting dari identitas tanpa banyak mengalami konflik atau krisis yang signifikan. Akibatnya, mereka mengalami kesulitan untuk mengetahhui apa yang dicita-citakan oleh orang tua mereka terhadap dirinya dan apa yang menjadi cita-citanya sendiri.
c.          Status 3: Identity Moratorium (penundaan identitas). Remaja dalam kategori ini tengah berada dalam krisis, secara aktif berjuang membentuk komitmen-komitmen dan mengikat perhatian terhadap hasil kompromi yang dicapai antara keputusan orang tua mereka, harapan-harapan masyarakat dan kemampuan-kemampuan mereka sendiri. Meskipun demikian, komitmen mereka hanya didefinisikan secara samar.
d.         Status 4: Identity achievement (pencapaian identitas). Remaja dalam kelompok ini telah berpengalaman dan berhasil menyelesaikan suatu periode krisis mengenai nilai-nilai dan pilihan-pilihan hidup mereka. Mereka juga telah memiliki komitmen terhadap suatu pekerjaan, agama dan politik yang didasarkan pada pertimbangan dari berbagai alternatif dan kebebasan relatif yang diberikan oleh orang tuanya.

2.5  Perkembangan Hubungan dengan Orang Tua
Perubahan-perubahan fisik, kognitif dan sosial yang terjadi dalam perkembangan remaja mempunyai pengaruh yang besar terhadap relasai orang tua-remaja. Salah satu ciri yang menonjol dari remaja yang mempengaruhi relasinya dengan orang tua adalah perjuangan untuk memperoleh otonomi, baik secara fisik maupun psikologis. Karena remaja meluangkan lebih sedikit waktunya bersama orang tua dan lebih banyak menghabiskan  waktu untuk saling berinteraksi dengan dunia yang lebih luas, maka mereka berhadapan dengan bermacam-macam nilai dan ide-ide. Seiring dengan terjadinya perubahan kognitif selama masa remaja, perbedaan ide-ide yang dihadapi sering mendorongnya untuk melakukan pemeriksaan terhadap nilai-nilai dan pelajaran-pelajaran yang berasal dari orang tua. Akibatnya, remaja mulai dan mempertanyakan dan menentang pandangan-pandangan orang tua serta mengembangkan ide-ide mereka sendiri. Orang tua tidak lagi dipandang sebagai otoritas serba tahu.
Beberapa peneliti tentang perkembangan anak remaja menyatakan bahwa pencapaian otonomi psikologis merupakan salah satu tugas perkembangan yang penting dari masa remaja. Akan tetapi, terdapat perbedaan mengenai tipe lingkungan keluarga yang lebih kondusif bagi perkembangan otonomi ini. Sejumlah teoritis dan penelitian kontemporer menyatakan bahwa otonomi yang baik berkembang dari hubungan orang tua yang positif dan suportif. Menurut mereka, hubungan orang tua yang suportif memungkinkan untuk mengungkapkan perasaan positif dan negatif, yang membantu perkembangan kompetensi sosial dan otonomi yang bertanggung jawab.
Belakangan, para ahli perkembangan mulai menjelajahi peran keterikatan yang aman (secure attachment) dengan orang tua terhadap perkembangan remaja. Mereka yakin bahwa keterikatan dengan orang tua pada masa remaja dapat membantu kompetensi sosial dan kesejahteraan sosialnya, seperti tercermin dalam ciri-ciri: harga diri, penyesuaian emosional, dan kesehatan fisik. Misalnya remaja yang memiliki hubungan yang nyaman dan harmonis dengan orang tua mereka, memiliki harga diri dan kesejahteraan emosiaonal yang lebih baik. Sebaliknya, ketidakdekatan  (detachment)emosional dengan orang tua berhubungan dengan perasaan-perasaan akan penolakan oleh orang tua yang lebih besar serta perasaan lebih rendahnya daya tarik sosial dan romantik yang dimiliki diri sendiri (Santrock, 1995).
Dengan demikian, keterikatan dengan orang tua selama masa remaja dapat berfungsi adaptif, yang menyediakan landasan yang kokoh dimana remaja dapat menjelajahi dan menguasai lingkungan-lingkungan barudan suatu dunia sosial yang luas dengan cara-cara yang sehat secara psikologis.
Begitu pentingnya faktor keterikatan yang kuat antara orang tua dan remaja dalam menentukan arah perkembangan remaja, maka orang tua senantiasa harus menjaga dan mempertahankan keterikatan ini. Untuk mempertahankan keterikatan atau kedekatan orang tua dengan anak remaja mereka, orang tua harus membiarkan mereka bebas untuk berkembang tetapi dengan cara yang baik atau positif.

2.6  Perkembangan Hubungan dengan Teman Sebaya
Perkembangan kehidupan sosial remaja juga ditandai dengan gejala meningkatnya pengeruh teman sebaya dalam kehidupan mereka. Sebagian besar waktunya dihabiskan untuk berhubungan atau bergaul dengan teman-teman sebaya mereka. Dalam suatu investigasi, ditemukan bahwa anak berhubuungan dengan teman sebaya 10%  dari waktunya setiap hari pada usia 2 tahun, 20% pada usia 4 tahhun, dan lebih dari 40% pada usia antara 7-11 tahun (Santrock, 1998).
Berbeda halnya dengan masa anak-anak, hubungan teman sebaya remaja lebih didasarkan pada hubungan persahabatan. Menurut Bloss (1962), pembentukan persahabatan remaja erat kaitannya dengan perubahan aspek-aspek pengendalian psikologis yang berhubungan dengan kecintaan pada diri sendiri dan juga pada lawan jenis.
Pada prinsipnya hubungan teman sebaya mempunyai arti yang sangat penting bagi kehidupan remaja. Dalam psikologi perkembangan diketahui satu contoh betapa pentingnya teman sebaya dalam perkembangan sosial remaja. Dua ahli teori yang berpengaruh, yaitu Jean Piaget dan Harry Stack Sullivan, menekankan bahwa melalui hubungan teman sebaya anak dan remaja belajar tentang hubungan timbal balik. Anak mempelajari prinsip-prinsip kejujuran dan keadilan melalui peristiwa pertentangan dengan teman sebaya. Mereka juga mempelajari secara aktif kepentingan-kepentingan teman sebayanya dalam rangka memuluskan kehidupannya dalam aktivitas teman sebaya yang berkelanjutan.
Sejumlah ahli lain menekankan pengaruh negatif dari teman sebaya terhadap perkembangan anak-anak remaja. Bagi sebagian remaja, ditolak atau diabaikan oleh teman sebaya, menyebabkan munculnya perasaan kesepian atau permusuhan . disamping itu, penolakan oleh teman sebaya dihubungkan dengan kesehatan mental dan problem kejahatan. Sejumlah ahli juga teori juga telah menjelaskan bahwa budaya teman sebaya remaja merupakan suatu bentuk kejahatan yang merusak nilai-nilai dan control orang tua. Lebih dari itu, teman sebaya juga dapat memperkenalkan remaja pada alkohol, obat-obatan (narkoba), kenakalan, dan berbagai bentuk perilaku yang menyimpang.

2.7  Perkembangan Seksualitas
Salah satu fenomena kehidupan remaja yang sangat menonjol adalah saat terjadinya peningkatan minat dan motivasi terhadap seksualitas. Terjadinya peningkatan perhatian remaja terhadap kehidupan seksual ini sangat dipengaruhi oleh faktor perubahan-perubahan fisik selama periode pubertas. Terutama kematangan-kematangan organ-organ seksual dan perubahan-perubahan hormonal, mengakibatkan munculnya dorongan-dorongan seksual dalam diri remaja. Dorongan seksual remaja





















BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pada masa remaja awal, remaja mulai memiliki suatu perasaan tentang identitasnya sendiri, suatu perasaan bahwa ia adalah manusia yang unik. Ia mulai menyadari sifat-sifat yang melekat pada dirinya, seperti kesukaan dan ketidaksukaanya, tujuan-tujuan yang diinginkan tercapai dimasa mendatang, kekuatan hasrat untuk mengontrol kehidupannya sendiri. Dihadapannya terbentang banyak peran baru dan status orang dewasa.

3.2 Saran
Didalam penulisan makalah ini, kami menyadari belum sempurna dan lengkap menjelaskan perkembangan psikososial anak pada masa remaja awal, untuk itu diharapkan kepada setiap orang yang membaca makalah ini untuk mencari dari sumber-sumber/ media yang lain.







DAFTAR PUSTAKA

Desmita.2005.Psikologi Perkembangan.PT.Remaja Rosda Karya.Bandung
Adams, G.R., & Gullota, T., Adolescent of Experience, California: Wadsworth, Inc,. Belmont, 1983.

0 Response to "Perkembangan Psikososial Masa Remaja Awal"

Post a Comment